Sabtu, 17 Januari 2015

Kisah Nyata Yang Menyentuh : Bilakah Ajal Kan Menjemput?


flower
Sebuah cerita
Kukenal dia ketika aku semester awal S1 di fakultas Farmasi pada salah satu Universitas Swasta terbesar di kota M.
Nisa,  itulah namanya, kesan pertama yang kudapatkan tentangnya. Subhanallah Allah menganugrahkan keelokan padanya dengan mengindahkan rupanya. Nisa gadis yang sangat cantik, kulitnya putih bersih, wajah yang begitu sempurna dengan tahi lalat di matanya. Bola mata yang indah dengan pancaran kecerdasan yang begitu jelas.
Dia juga sangat wangi, wangi yang sangat lembut, yang sampai sekarang masih mampu kuingat. Penampilannya sama dengan teman-teman kuliahku, jilbab kecil yang dililit atau dipeniti dengan sangat rapi, dia sangat suka menggunakan jilbab merah dan pink, sangat cocok dengan kulitnya yang putih.
Awalnya aku hanya mampu mengaguminya sebagai teman yang cantik dan pintar. Namun aku tak begitu tertarik untuk mengenalnya lebih jauh. Bukannya aku minder, namun pola pikir kami yang kurasa berbeda. Selain itu aku mendengar dari beberapa temanku, kalau Nisa anaknya sombong dan individualis. Padahal kegiatan dikampus terutama di Laboratorium membutuhkan kerjasama dalam team dan kelompok. Ada pula yang mengatakan kalau dia sok pinter dan gak mau disaingi.
Hal ini yang membuatku agak enggan mengenalnya lebih jauh. Hal lainnya karena aku seorang akhwat, selain dunia kampus, akupun disibukkan dengan amanah dakwah dimana-mana dan juga tarbiyah. Membuat waktuku betul-betul terkuras, sehingga kawan yang ku kenalpun hanya mereka yang juga bergelut didunia dakwah yaitu para akhwat-akhwat.
Namun aku kemudian merasa ada yang kurang dengan keseharianku, aku merasa dakwah fardiyah pada teman-teman yang pada dasarnya ku temui tiap hari sangatlah kurang. Padahal setiap harinya ku mengisi liqo dan membuat ta’lim dengan menghadirkan orang-orang yang tak kukenal.
Lalu bagaimana mungkin teman-teman bahkan sahabatku dikampus tak tersentuh dengan dakwahku. Maka kumulai melirik mereka, membuat kajian jum’at dikampus dan akupun bergabung di BEM fakultasku.
Ada yang menarik dalam tiap kajian jumat yang aku adakan. Yah, aku selalu menemukan sosok Nisa di sana. Bahkan terkadang dia datang lebih dulu dari teman-teman yang lain yang notabene akhwat. Satu hal yang ku ingat darinya, dia selalu shalat tepat waktu. Terkadang aku malu, ketika di lab aku kadang begitu antusias melakukan praktikum, sehingga kadang aku mengabaikan azan Dzuhur atau Ashar, maka Nisa pasti selalu menghampiriku dan membisikkan padaku kalau telah azan lalu mengajakku ke masjid atau ruang shalat di Lab, dan memintaku untuk meletakkan gelas kimia atau pereaksi kimia dari tanganku itu. Nisa, semakin membuatku penasaran.
Aku semakin tertarik mengenalnya lebih dekat, Alhamdulillah Allah memberiku kesempatan mengenalnya lebih jauh. Pada suatu semester baru, aku ditempatkan satu kelompok dengan Nisa. Kelompok praktikum untuk matakuliah yang sangat susah dan membutuhkan banyak waktu dalam menyelesaikan laporan dan tugas. Akhirnya kami memutuskan untuk mengerjakan tiap hari tugas itu di rumah Nisa, yang kebetulan mempunyai referensi buku yang lumayan banyak. Jadilah aku tiap hari kerumahnya. Nisa gadis yang sangat bersih, rapi, dan teratur. Aku malu jika membandingkan kamarku dengan kamarnya, hehe.. aku berantakan, dan seenaknya meletakkan barang, tapi Nisa, dia bahkan melipat tiap kantong pelastik di rumahnya dan menyimpannya pada kardus kecil, sangat rapi.
Nisa mempunyai seorang kakak laki-laki, itu aku tahu ketika melihat foto keluarga pada bingkai kecil di kamarnya. Nisa tinggal berdua dirumah itu dengan kakaknya, sedangkan orangtuanya tinggal dikampung. Namun ketika ku tanyakan tentang kakaknya, dia terlihat murung, dia cuma mengatakan kalau kakaknya tidak begitu dekat dengannya. Akupun tak mau terlalu mendesaknya untuk bercerita, aku tak mau membuatnya tak nyaman.. Namun aku cukup terkejut ketika tak sengaja aku melihat belasan botol obat didalam lemarinya, ketika kutanyakan, dia cuma tersenyum dan mengatakan hanya vitamin biasa.
Aku dan Nisa semakin akrab sejak semester itu, dan sejak itu tak jarang dia curhat padaku. Tentang semuanya, tentang teman-temanya yang menganggapnya sombong, tentang keluarganya, tentang pacar-pacarnya, aku termasuk akhwat yang tak suka mendoktrin teman-temanku tentang larangan pacaran, kubiarkan mereka bercerita padaku tentang itu, lalu aku mengikuti tiap perkembangan hubungan mereka, sehingga akupun mendapat kepercayaan mereka, barulah ketika mereka mulai bermasalah dengan pacarnya atau mempertanyakannya pendapatku tentang pacaran, baru aku menyelipkan nasihat-nasihat tentang itu, sehingga obrolan yang pada dasarnya nasihat itu lebih berkesan diskusi atau curhat buat mereka dan aku tak sok menggurui, dan tak sedikit akhirnya temanku memutuskan pacarnya dengan trik seperti ini hehe.. tapi ini rahasia yah..
Hingga suatu hari, pada awal semester baru lagi, aku dan Nisa sepakat untuk memprogram matakuliah yang semester lalu belum kami ambil, jadinya kami berdua harus kuliah denga yunior. Kuliahpun kami pilih hari sabtu pagi sebelum kuliah bahasa arab, hari yang bebas praktikum untuk kelas kami. Nisa punya kebiasaan untuk janjian denganku pada malam sabtunya lewat sms, dia akan menanyakan apakah aku akan ikut kuliah besok? Jika tidak, diapun malas untuk datang… hemm kebiasaan buruk, tapi juga wajar, mana ada yang betah kuliah dengan yunior
Suatu pagi dihari sabtu, selepas kami kuliah, sambil menunggu dosen dan teman-teman yang belum datang, kuliah berikutnya yaitu bahasa arab, aku duduk berdua dengan Nisa di depan kelas. Ruang kuliah sangat sepi, hanya ada aku dan Nisa yang datang cepat karena ada kuliah pagi. Waktu itu langit sangat mendung, bahkan gelap, pertanda hujan deras akan segera mengguyur kota M siang itu. Ada yang berbeda dari Nisa yang biasanya ceria, pagi itu dia diam dan sedikit murung, matanya sembab sangat jelas dia baru saja menangis. Aku lalu bertanya padanya ada apa? Dia hanya diam, dan menggeleng, akupun mendesaknya untuk bercerita. Hingga akhirnya dia lalu menyingkap roknya dan memperlihatkan betisnya. Allah, aku terkejut, begitu banyak memar di betisnya, lalu dia memperlihatkan lengannya, kulit putihnya kini berhiaskan lebam-lebam biru kehijauan. Ada apa denganmu teman?
Dia lalu bercerita, kalau sejak kecil dia menderita Epilepsi (ayan), jika penyakitnya kumat, kepalanya seakan dialiri jutaan watt listrik, begitu sakit sehingga jika dia tak tahan sakitnya, diapun kejang-kejang tak sadarkan diri, dia baru saja tadi pagi kambuh di kamar mandi ketika sedang mencuci, beruntung kakaknya masih di rumah, sehingga dia segera tertolong.
Semua badannya lebam dan memar karena terbentur tembok dan barang-barang saat kejang-kejang. Dia bercerita sambil menangis, dia harus menelan puluhan tablet penenang tiap harinya, yang jika terlambat sedikit saja dia konsumsi, akan membuat penyakit epilepsinya kambuh. Selain itu, tekanan dan kecapaianpun dapat menyebabkannya kumat. Dia malu jika penyakitnya kambuh ditengah banyak orang, bagaimana jika auratnya terbuka ketika dia tak sadarkan diri ketika kejang, dan itu telah sering terjadi. Dia lelah, kadang dia mempertanyakan kepada Allah, kenapa mesti dia yang mengalaminya, dia punya banyak cita-cita, ingin mempunyai apotek, ingin bekerja di Balai POM, dia ingin segera menikah dan punya anak. Namun ketika ia menyadari Epilepsi yang dideritanya dapat merenggut nyawanya kapan saja, dia lalu menangis dan sangat sedih.
Lalu kembali pertanyaan itu hadir, kenapa harus dia? Kenapa bukan orang-orang yang selama hidupnya hanya berbuat sia-sia dengan maksiat? Kenapa bukan orang yang tak menghargai hidupnya yang selalu ingin bunuh diri hanya dengan masalah picisan? Aku ingin lebih baik, masih banyak hal yang ingin aku capai.
Dia mengatakan padaku satu hal yang tak akan pernah kulupakan. “Aztri, kamu tahu? Kenapa selama ini begitu masuk azan, aku akan bergegas shalat, karena aku takut, jika aku menunda shalatku,lalu kemudian ternyata Allah membuat penyakitku kumat, dan lalu aku mati sebelum menunaikan shalat. Penyakitku bisa kambuh kapan saja, itu berarti aku dapat diambilNya kapan saja” katanya dengan isak tangis.
Sungguh, pemikiran yang sederhana, namun mampu menghempaskanku ke titik nol. Aku yang begitu paham makna takdir dan ajal, namun tak pernah memikirkan dengan begitu nyata. Aku kadang berfikir Ajalku masih sangat jauh, bahkan kadang tanpa aku sadari aku merasa hanya orang lain yang akan mengalami kematian. Bukan, bukannya aku tak percaya ajal, tapi ada kalanya kita begitu tenggelam dengan dunia sehingga kemudian melupakan tamu yang dapat datang kapan saja itu.. ajal… kematian..
Lalu Nisa pun mengatakan padaku, “Aztri, aku takut mati, aku takut tak mampu mempertanggung jawabkan perbuatanku selama hidup ini. Apa yang harus kukatakan pada Allah nanti. Aku mau mati dalam keadaan terbaikku, tapi bagaimana jika penyakitku kumat di kamar mandi, seperti tadi pagi? Aku tak mau mati di kamar mandi, tempat yang kotor, bagaimana jika aku dalam keadaan aurat yang terbuka, aku malu menemui Allah dengan keadaan seperti itu. Bagaimana jika Allah mengambilku ketika aku serangan dan aku tak mampu menyebut namanya karena dalam keadaan tak sadar? Aku tak mampu menahan air mataku, akupun ikut menangis. Baru kali itu aku merasa kematian begitu dekatnya. Tanpa sadar dalam hati aku berdoa “Ya Rabb, penguasa Alam semesta, berilah akhir yang baik pada kami..”
Sejak itu aku semakin dekat dengan Nisa, dia pun mulai mengikuti tarbiyah, dia mulai memanjangkan jilbabnya, yang tadinya dia lilit, kini dia mulai menutupkan ke dadanya. Kemana-mana aku bersamanya. Teman-temanpun heran melihatnya, bagaimana mungkin aku bisa tiba-tiba akrab dengannya.
Pada suatu sabtu pagi, aku ke kampus seperti biasa, hari ini ada kuliah dengan Nisa, namun yang aku herankan, sejak semalam aku menunggu sms Nisa, tapi tak ada satupun, akupun meng smsnya apa dia mau kuliah atau tidak, namun smsku pun tak dibalas sejak subuh. Aku pikir mungkin pulsanya habis. Sesampaiku di kampus, aku baru tahu kalu sabtu itu ada wisuda, jadi semua kegiatan perkuliahan di tiadakan. Aku mencari Nisa ke mana-mana, dari kelas ke kelas, ku tanya pada teman-teman apa ada yang melihatnya. Namun tak satupun yang melihatnya pagi itu. Aku lalu berfikir mungkin dia sudah tahu hari ini kuliah diliburkan maka dia tak datang kekampus. Aku pun pulang tanpa memikirkannya lagi.
Namun pada pukul 10 malam. tepatnya malam ahad, ketika aku sedang berkumpul dengan keluargaku, tiba-tiba telpon pun bordering, aku mengangkatnya tanpa prasangka apa-apa. Namun ternyata yang menelpon adalah temen kuliahku, dia memberitakan berita yang seketika mampu melemaskan semua persendianku.. Nisa meninggal dunia, entah jam berapa, namun mayatnya baru ditemukan tadi jam 09.00 malam dalam keadaan kaku dan membiru, tertelungkup di kamarnya. Seolah aku tak berpijak di bumi, langit di atasku seolah runtuh.
Selanjutnya aku langsung menuju kerumahnya ku tahan air mataku seolah ini hanyaberita bohong, aku masih berharap menemukan Nisa di rumahnya dan menyambutku di depan pintu dengan senyuman seperti biasa. Namun sesampaiku disana, lorong ke rumahnya telah penuh dengan kerumunan warga setempat, raungan serine ambulans sejak tadi terdengar. Kusingkap kerumunan, orang-orang yang mengenalku dekat dengan Nisa segera memberiku jalan, bergegas ku ke ambulansnya, dan kutemukan sosok yang sangat kusayangi, sahabatku Nisa dalam balutan selimut, tubuhnya kaku dengan posisi tak biasa, wajahnyatelah membiru dan bengkak. Allah, apa yang dia khawatirkan terjadi. Nisa sahabatku, ada apa denganmu? Kenapa jadi begini?
Badanku tiba-tiba limbung di depan pintu ambulans, sebuah tangan menangkapku sambil membisikkan istigfar ke telingaku, ternyata dia salah seorang akhwat temanku dikampus. Dibimbingnya aku ke kamar Nisa, ku dapati kamarnya berantakan tak rapi seperti biasa, kertas berhamburan dimana-mana, obat-obatnya berserakan dimana-mana. Salah seorang temanku menceritakan padaku. Nisa baru ditemukan kakaknya tadi ketika dia pulang pukul 09.00 malam, tak ada yang tahu pukul berapa Nisa meninggal namun jika melihat kondisi kamarnya, dimana lampu yang masih menyala dan tirai yang masih tertutup, kemungkinan dia meninggal kemarin malam, hari itu dia sendiri di rumah, tak ada yang menemaninya. Barulah ketika kakaknya pulang pukul 09.00 malam dia menelpon dan HPnya berbunyi di kamarnya, tapi Nisa tak mengangkatnya. Dan di temukan Nisa telah kaku dan membiru..
Allah… bagaimana mungkin secepat ini, sempatkah ia menyebut namaMu? Betapa sakitnya sakaratul maut yang ia rasakan, dan dia menghadapinya sendiri, Rabb adakah namaMu dia ucapkan? Baru saja kurasa mengenalnya, baru saja dia mengatakan ingin mengenal islam lebih jauh, beru kemarin ku rasa dia mengatakan ingin menggunakan jilbab lebar sepertiku. Masih dapat ku ingat dengan jelas ketika aku bermain ke rumahnya, dia minta aku meminjamkan jilbab hitam lebar yang aku gunakan saat itu sebentar saja.
Dia memakainya berdiri di depan cermin dengan senyuman yang sangat manis, Nisa begitu cantik dengan jilbab lebar yang aku pinjamkan padanya. Lalu dia memperagakan wajah malu-malu katanya jika ada ikhwan yang mengkhitbahnya, dia akan mengangguk malu seperti ini. Aku tertawa terpingkal-pingkal saat itu, namun sekarang ketika mengingatnya malah yang kurasakan perih yang amat sangat, di sini, di hatiku..
Teman membisikkan kalau ambulans yang mengantar jenazah menuju ke kampung halamanya akan segera berangkat, Nisa akan dikebumikan di kampungnya, kami pun berkumpul di sekitar ambulans mengantar kepergian Nisa. Melihatnya untuk terakhir kalinya. Serine segera menggelgar, memecah keheningan malam saat itu. Ambulans yang berisi jasad Nisa telah pergi, Nisa tak ada lagi, namun di sini di hati ini dia tetap ada. Semangat hidupnya menjadi kekuatanku, Nisa sahabatku yang cantik, selamat jalan. Sampaikan salamku pada Rabb kita, Aku yakin niatmu yang tulus telah terukir dengan indah di buku amalanmu. Tersenyumlah kawan, kau begitu cantik dengan senyummu.
Tunggu aku, akupun pasti akan menyusulmu, di sana di JannahNya.. pergilah..
Kulepas kau dengan ikhlas.. Dengan Senyum..
jalan yg panjang nanar kau tatap
tak lagi peduli semua yg terjadi
smakin dalam larut angan mu melayang
mimpimu hadirkan semua penantian
dengan apa aja kau bernyanyi
akhirnya kau pun pergi… tak kembali
tiap haru kuhanya sanggup mengingat
jelas bayangmu yg masih melekat
dalam kecewa ku hanya mampu katakan
tetaplah tersenyum karena itu jalan
yang kau telah kau pilih……
terbanglah……terbanglah…..bersama pelangi
banyak sudah kisah yg tertinggal
kau buat jadi satu kenangan
seorang sahabat pergi tanpa tangis arungi mimpi
slamat jalan kawan cepatlah berlalu
mimpi mu kini tlah kau dapati
tak ada lagi seorang pun yang menggangu kau bernyanyi
slamat jalan kawan cepatlah berlalu
mimpi mu kini tlah kau dapati
tak ada lagi seorang pun yg mengganggu kau bernyayi...

Sumber:
https://catatanlilia.wordpress.com

Kamis, 15 Januari 2015

PERJALANAN PANJANG WANITA RUSIA (AMAZING STORY)


https://gizanherbal.files.wordpress.com/2012/02/wp-photo-of-2012.jpg?w=388&h=256
Awal mulanya…
Ia seorang gadis Rusia, berasal dari keluarga yang taat beragama, akan tetapi ia seorang penganut kristen ortodox yang sangat fanatik dengan kristennya.
Salah seorang pedagang Rusia menawarinya untuk pergi bersama dengan sekelompok gadis-gadis ke negara teluk untuk membeli alat-alat elektronik yang kemudian akan dijual di Rusia. Demikianlah awal kesepakatan antara pedagang dengan gadis-gadis tersebut.
Ketika mereka telah sampai di sana, laki-laki itu mulai menampakkan taringnya dan mengungkapkan niat jahatnya. Ia menawarkan kepada gadis-gadis tersebut profesi tercela. Ia mulai merayu mereka dengan harta yang melimpah dan hubungan yang luas, sampai sebagian besar gadis-gadis itu terpedaya dan akhirnya menerima idenya, kecuali wanita yang satu ini. Ia sangat fanatik dengan agama kristennya sehingga ia menolak.

Laki-laki itu menertawakannya seraya berkata, “Engkau di negeri ini tersia-sia, engkau tidak memiliki apapun selain pakaian yang engkau pakai … dan aku tidak akan memberikan apapun kepadamu”. Ia mulai menekannya, ia tempatkan wanita itu di sebuah flat (kamar) bersama gadis-gadis yang lain dan ia sembunyikan paspor-paspor mereka. Gadis-gadis yang lain tidak mampu mempertahankan prinsipnya, mereka pun larut bersama arus … sementara ia tetap teguh menjaga kesuciannya. Setiap hari ia selalu mendesak laki-laki itu untuk menyerahkan paspornya atau memulangkan dirinya ke negeri asalnya. Tetapi laki-laki itu menolak. Pada suatu hari ia berusaha untuk mencari paspor itu di flat. Setelah susah payah mencarinya akhirnya ia menemukannya. Langsung saja ia ambil paspor tersebut dan segera kabur dari flat itu.
Ia keluar menuju ke jalan raya, sementara ia tidak punya apa-apa selain pakaian yang dikenakannya. Ia kebingungan, ia orang asing yang tidak tahu kemana harus pergi, tak ada keluarga, tak ada hubungan, tak ada harta, tak ada makanan dan tak ada juga tempat tinggal.
Wanita yang lemah itu benar-benar kebingungan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda yang sedang berjalan bersama tiga orang wanita, ia merasa tentram dengan penampilannya lalu ia menghampirinya dan mulai berbicara dengan bahasa Rusia.
Pemuda itu minta maaf karena ia tidak paham bahasa Rusia. Wanita itu berkata, “Apakah kalian bisa berbicara bahasa Inggris”. Mereka menjawab, “Ya, bisa.” Wanita itu menangis karena gembira, lalu berkata, “Aku seorang wanita dari Rusia, kisahku begini (ia menuturkan kisahnya), aku tidak punya harta dan tempat tinggal, aku ingin pulang ke negeriku, yang aku inginkan dari kalian hanyalah sekedar mau menampungku dua atau tiga hari agar aku dapat mengatur urusanku bersama keluargaku dan saudara-saudaraku di negeriku.”
Pemuda yang bernama Khalid itu merenungkan kata-katanya, ia berfikir boleh jadi wanita ini menipu! Sementara wanita itu melihat kepadanya dan menangis. Lalu Khalid bermusyawarah dengan ibu dan kedua saudara perempuannya.
Pada akhirnya mereka sepakat membawa wanita itu ke rumah. Ia mulai menghubungi keluarganya di Rusia, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Jaringan telepon terputus di negeri itu! Padahal ia sudah mengulang-ngulang menelpon setiap jam.
Keluarga itu tahu bahwa wanita itu seorang Kristen. Mereka berusaha untuk berlemah lembut dan santun kepadanya. Wanita itu mencintai mereka dan mereka mengajaknya untuk memeluk Islam. Akan tetapi ia menolak dan tidak ingin berpindah agama, bahkan tidak bersedia sekedar untuk diskusi tentang masalah agama sama sekali, karena ia dari keluarga ortodox yang sangat fanatik membenci Islam dan kaum muslimin!
Khalid pergi ke Pusat Islam dan Dakwah (Islamic Center) lalu membawakan untuknya beberapa buku tentang Islam dalam bahasa Rusia. Wanita itu membacanya dengan seksama. Setelah membaca buku-buku tersebut ia mulai bisa memahami tentang Islam. Pada akhirnya ia terkesan dan kagum dengan agama yang baru ia kenal ini. Hari-hari terus berlalu sementara mereka terus berusaha untuk meyakinkannya hingga akhirnya dia masuk Islam. Semakin hari keislamannya semakin baik. Ia mulai menaruh perhatian terhadap ajaran-ajaran dien dan semangat untuk bergaul dengan wanita-wanita yang shalihah. Setelah memeluk Islam ia takut untuk kembali ke negerinya karena khawatir kembali ke agama Kristen.
Pernikahan…
Karena ia telah menjadi seorang wanita yang muslimah maka akhirnya Khalid pun menikahinya. Ternyata ia lebih teguh dalam memegang dien daripada kebanyakan wanita-wanita muslimah lainnya. Pada suatu hari ia pergi bersama suaminya ke pasar, di sana ia melihat seorang wanita bercadar. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat seorang wanita berjilbab yang menutupi wajahnya (bercadar). Seorang wanita berjilbab dengan sempurna, ia merasa heran dengan bentuk pakaian tersebut!! Ia berkata kepada suaminya , “Khalid, kenapa wanita itu berpakaian seperti itu? Mungkin wanita itu tertimpa penyakit yang membuat rusak wajahnya sehingga ia menutupinya?”
Khalid menjawab, “Tidak, wanita itu berhijab dengan hijab yang diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya dan yang diperintahkan oleh Rasul-Nya.” Ia terdiam sebentar kemudian berkata, “Ya, benar, ini adalah hijab yang islami, yang dikehendaki oleh Allah untuk kita.”
Khalid berkata, “Dari mana engkau tahu?” Ia menjawab, “Aku sekarang merasakan, jika aku masuk ke pertokoan, mata-mata para pemilik toko itu tidak lepas dari wajahku! Seakan-akan mereka mau menelan wajahku sepotong-sepotong!! Kalau begitu wajahku ini harus ditutup, tidak boleh ada yang melihatnya selain suamiku saja, kalau begitu aku tidak akan keluar dari pasar ini kecuali dengan hijab seperti itu. Di mana kita bisa membelinya?”. Khalid berkata, “Tetaplah terus dengan hijabmu ini, seperti ibu dan saudara-saudara perempuanku.” Ia menjawab, “Tidak, aku ingin hijab seperti yang diinginkan Allah.”
Hari-hari terus berlalu atas wanita ini sementara tidak ada yang bertambah kecuali keimanannya. Orang-orang yang ada di sekelilingnya menyukainya, hati dan perasaan Khalid pun terkuasai olehnya.
Pada suatu hari ia melihat paspornya, ternyata hampir habis masa berlakunya dan harus segera diperpanjang. Yang paling sulit adalah paspor itu harus diperpanjang di kota tempat dulu ia tinggal. Jadi mesti pergi ke Rusia. Jika tidak, maka ia akan dianggap pendatang gelap. Khalid memutuskan untuk pergi bersamanya, karena wanita itu tidak mau bepergian tanpa disertai mahram.
Mereka berdua naik pesawat jawatan penerbangan Rusia (Russian Air Lines) sementara wanita itu tetap dengan hijabnya yang sempurna!! Ia duduk di samping suaminya dengan mantap dan penuh kewibawaan. Khalid berkata kepadanya, “Aku khawatir kita menemui kesulitan-kesulitan karena hijabmu ini.” Ia menjawab, “Subhanallah! engkau ingin agar aku mentaati orang-orang kafir tersebut dan mendurhakai Allah? Tidak, demi Allah, terserah mereka mau ngomong apa.”
Orang-orang mulai memandanginya. Dan para pramugari mulai membagi-bagikan makanan dan khamr (bir) kepada para penumpang. Tak lama kemudian khamr mulai beraksi di kepala mereka, kata-kata kasar mulai bermunculan dari orang-orang di sekelilingnya yang diarahkan kepadanya. Ada yang membuat lelucon (humor), ada yang tertawa, ada juga yang mengolok-olok. Mereka berdiri di samping wanita itu dan mengomentari dirinya. Sementara Khalid melihat ke arah mereka tanpa memahami ucapan mereka sedikitpun. Adapun wanita itu tersenyum dan tertawa serta menerjemahkan omongan mereka kepadanya. Sang suami marah, tetapi wanita itu berkata, “Jangan, jangan engkau bersedih, jangan merasa sempit dada, ini perkara kecil dibandingkan ujian dan cobaan iman yang dialami oleh para sahabat Nabi, baik yang laki-laki maupun perempuan.” Wanita itu bersabar, demikian juga sang suami, hingga pesawat itu mendarat.
Di Rusia…
Khalid berkata, “Ketika kami turun di bandara, aku menyangka bahwa kami akan pergi ke rumah keluarganya dan tinggal di sana, setelah itu akan menyelesaikan pengurusan perpanjangan paspor kemudian pulang. Akan tetapi pandangan istriku ternyata cukup jauh.”
Wanita itu berkata, “Keluargaku masih menganut kristen ortodox semua, mereka fanatik dengan agamanya. Oleh karena itu aku tidak ingin ke sana sekarang! Tetapi kita akan menyewa sebuah kamar di satu tempat dan tinggal di sana lalu mengurus perpanjangan paspor. Nanti sebelum pulang, kita berkunjung ke rumah keluargaku.” Khalid pun menyetujui usulan yang bagus itu.
Kami pun menyewa sebuah kamar dan bermalam di situ. Keesokan harinya kami pergi ke kantor bagian pengurusan paspor. Kami menemui petugas dan ia meminta agar kami menyerahkan paspor yang lama berikut foto pemiliknya. Istriku menyerahkan fotonya yang hitam putih, yang tak terlihat dari tubuhnya kecuali bagian wajahnya saja.
Petugas itu berkata, “Foto ini menyalahi aturan, kami minta foto yang berwarna, dan terlihat di situ wajah, rambut dan leher dengan sempurna!!” Istriku menolak menyerahkan selain foto itu. Kami pun pergi ke petugas kedua lalu petugas yang lainnya lagi, akan tetapi mereka semua minta foto yang tidak berjilbab, sementara istriku berkata, “Tidak mungkin aku berikan kepada mereka foto yang tabarruj (terbuka auratnya) selama-lamanya.” Para petugas itu pun menolak melayani permintaan kami. Kemudian kami menuju ke pimpinan utama mereka yang perempuan.
Istriku berusaha semampunya meyakinkan pimpinan itu agar mau menerima foto tersebut. Akan tetapi ditolak. Istriku mulai mendesak seraya berkata, “Apakah tidak engkau lihat rupaku yang sebenarnya lalu engkau bandingkan dengan yang ada di foto itu? Yang penting wajah terlihat, adapun rambut bisa saja berubah. Bukankah foto ini sudah cukup?!”
Pimpinan itu tetap bersikeras bahwa aturan tidak membolehkan foto seperti itu. Maka istriku berkata, “Saya tidak akan menyerahkan selain foto-foto ini, lalu apa jalan keluarnya?” Sang pimpinan berkata, “Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah ini kecuali direktur utama di kantor pusat pengurusan paspor yang berada di Moskow.” Maka kami pun keluar dari kantor tersebut.
Ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai Khalid, kita akan pergi ke Moskow.” Ketika itu aku berkata kepadanya, “Sudahlah, serahkan saja foto yang mereka inginkan itu, bukankah Allah tidak akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya? Maka bertakwalah kepada Allah semampumu. Dan ini sesuatu yang darurat, sementara paspor itu tidak akan dilihat kecuali oleh segelintir orang, itupun untuk sesuatu yang darurat, kemudian setelah itu engkau sembunyikan di rumahmu sampai habis masa berlakunya. Lepaskan dirimu dari kesulitan-kesulitan ini, kita tidak perlu pergi ke Moskow.”
Ia menjawab, “Tidak, tidak mungkin aku tampil dengan bentuk yang tabarruj (membuka aurat) setelah aku mengenal agama Allah ini.”
Di Moskow…
Ia mendesakku, akhirnya kami pun pergi ke Moskow, lalu kami menyewa sebuah kamar dan tinggal di situ. Keesokan harinya kami pergi ke kantor pusat pengurusan paspor. Kami menemui petugas pertama, kedua dan ketiga. Pada akhirnya kami terpaksa menghadap direktur utama. Kami menemuinya, ternyata ia termasuk orang yang paling buruk akhlaknya! Ketika ia melihat paspor, ia membolak-balik foto-foto kemudian mengarahkan pandangannya ke arah istriku, seraya berkata, “Siapa yang bisa membuktikan kepadaku bahwa engkau adalah pemilik foto-foto ini?” Ia ingin agar istriku membuka wajahnya agar dapat melihatnya. Istriku berkata kepadanya, “Katakan saja kepada salah seorang pegawai wanita yang ada di sini atau sekretaris wanita untuk menemuiku lalu aku bersedia membuka wajahku untuknya, sehingga ia dapat mencocokkan foto-foto itu. Adapun engkau maka tidak akan bisa mencocokkannya, aku tidak akan membuka wajahku untukmu.”
Orang itu marah lalu mengambil paspor lama dan foto-fotonya berikut berkas-berkas lainnya kemudian dijadikan satu dan dilemparkan ke laci meja pribadinya. Ia berkata kepada istriku, “Engkau tidak akan bisa memperoleh paspor yang lama ataupun yang baru kecuali jika engkau serahkan kepadaku foto-foto yang benar-benar cocok dan kami bisa mencocokkannya denganmu.”
Istriku mulai berbicara kepadanya dan berusaha untuk meyakinkannya. Kedua orang itu berbicara dengan bahasa Rusia, sementara aku memandangi keduanya tanpa faham sedikitpun pembicaraan mereka. Aku marah … tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa, sementara orang itu mengulang-ngulang, “Engkau harus mendatangkan foto-foto yang sesuai dengan syarat-syarat kami.”
Istriku tetap berusaha untuk meyakinkannya… tetapi tidak ada hasilnya! Akhirnya ia diam dan berdiri, aku menoleh kepadanya dan mengulangi perkataanku sebelumnya, “Wahai istriku yang terhormat, Allah tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya, dan kita dalam keadaan darurat, sampai kapan kita berkeliling di kantor-kantor pengurusan paspor?”
Dia menjawab, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar dan Dia karuniakan kepadanya rizki dari arah yang tidak diduga-duga.”
Perdebatan antara aku dengannya semakin sengit, direktur pengurusan paspor itupun marah dan kami diusir dari kantornya. Kami keluar sambil menyeret langkah-langkah kami, perasaanku antara kasihan dan marah kepada istriku. Kami pun pergi untuk saling mempelajari perkara ini di kamar kami. Aku berusaha untuk meyakinkannya, akan tetapi ia tetap bersungguh-sungguh meyakinkanku, sampai larut malam. Kami pun shalat Isya’. Fikiranku tetap risau dengan musibah ini, kemudian kami makan malam seadanya lalu aku letakkan kepalaku untuk tidur.
Bagaimana engkau bisa tidur…
Ketika ia melihatku seperti itu, wajahnya berubah lalu menoleh kepadaku seraya berkata, “Khalid, engkau akan tidur?!” Aku menjawab, “Ya, apakah engkau tidak merasa capek?!”
Ia berkata, “Subhanallah, dalam kondisi yang sulit ini engkau bisa tidur?! Kita sedang melewati saat-saat yang kita harus lari kepada Allah, bangun dan mohonlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, karena ini adalah waktu untuk memohon.”
Aku pun bangun dan shalat sesuai dengan yang Allah kehendaki untukku, kemudian aku tidur, adapun dia tetap berdiri untuk shalat dan shalat, setiap kali aku terbangun dan melihatnya, aku dapati dia masih dalam keadaan ruku’ atau sujud atau berdiri atau berdoa atau menangis, sampai terbit fajar. Kemudian ia membangunkanku seraya berkata, “Telah masuk waktu fajar, mari kita shalat berjam’ah.”
Aku pun bangun, berwudhu’ dan shalat berjama’ah, kemudian ia tidur sejenak. Setelah matahari terbit ia terbangun seraya berkata, “Mari kita pergi ke kantor pengurusan paspor!!”
Aku berkata, “Kita akan pergi ke kantor pengurusan paspor lagi?! Dengan argumen apa?! Mana foto-fotonya, kita masih belum memiliki foto-foto itu!!”
Ia berkata, “Marilah kita pergi dan berusaha, jangan putus asa dari rahmat Allah.” Kami pun pergi. Demi Allah, ketika kaki-kaki kami menginjak lantai ruang pertama kantor pengurusan paspor tersebut dan mereka melihat istriku -yang sudah mereka ketahui sebelumnya- dengan hijabnya itu, tiba-tiba salah seorang petugas memanggil, ”Engkau Fulanah?”
Istriku menjawab, “Ya, benar!” Petugas itu berkata, “Ambillah paspormu.” Dan ternyata paspor itu telah beres, lengkap dengan foto-fotonya yang berjilbab. Aku merasa gembira, lalu ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar.”
Tatkala kami ingin keluar, petugas itu berkata, “Kalian harus kembali ke kota yang kalian datangi pertama kali agar paspor Anda distempel di sana.” Kami pun kembali ke kota yang pertama dan aku berkata dalam hatiku, ini adalah kesempatan untuk mengunjungi keluarganya sebelum kami meninggalkan Rusia. Akhirnya kami sampai di kota keluarganya. Kami menyewa sebuah kamar kemudian kami menstempel paspor tersebut.
Perjalanan yang penuh siksaan…
Kami pergi mengunjungi keluarganya. Ternyata rumah itu tampak kuno dan sederhana. Nampak jelas ada tanda-tanda kemiskinan di sana. Kami mengetuk pintu rumah tersebut dan yang membukakan pintu adalah kakak laki-lakinya yang tertua, ia seorang pemuda yang kekar otot-ototnya. Istriku gembira dapat bertemu dengan kakaknya, ia membuka wajahnya dan tersenyum serta mengucapkan selamat berjumpa! Adapun sang kakak -ketika pertama kali melihat adiknya- wajahnya terlihat gembira dengan kepulangannya yang selamat tapi bercampur heran karena pakaiannya yang hitam dan menutup semuanya itu.
Istriku masuk sambil tersenyum dan memeluk saudaranya. Aku pun ikut masuk di belakangnya dan duduk di ruang tamu, aku duduk seorang diri. Adapun dia, terus masuk ke dalam rumah. Aku mendengar mereka berbicara dengan bahasa Rusia. Aku tidak faham sama-sekali, tetapi aku perhatikan nada suara mereka semakin meninggi dan keras!! Logatnya pun berubah!! Teriakan mulai meninggi!!… Tiba-tiba mereka semua meneriaki istriku, sementara ia membela diri dan menyanggah perkataan mereka. Aku merasa ada hal yang tidak baik dalam urusan ini, tetapi aku tidak bisa memastikannya karena aku tidak faham sedikitpun dari pembicaraan mereka.
Tiba-tiba suara mereka semakin mendekat ke ruangan tamu –dimana aku berada di situ- kemudian keluarlah tiga orang pemuda dipimpin oleh seorang yang agak tua menemuiku. Pada mulanya aku menduga bahwa mereka akan menyambut kedatangan suami dari anak mereka! Ternyata mereka menyerangku seperti binatang buas. Tiba-tiba sambutan berubah menjadi pukulan-pukulan dan tamparan-tamparan!! Aku berusaha untuk membela diri dari serangan mereka, aku berteriak dan minta tolong, hingga habis kekuatanku. Aku merasa di rumah inilah akhir hidupku. Mereka semakin menghujaniku dengan pukulan-pukulan. Sementara itu aku berusaha menoleh ke sekitarku, aku berusaha mengingat-ingat dari pintu mana aku tadi masuk supaya aku bisa keluar. Ketika aku melihat pintu, aku segera bangkit membuka pintu dan kabur. Sementara mereka mengejar di belakangku. Aku masuk di tengah kerumunan orang hingga tersembunyi dari mereka.
Kemudian aku menuju ke kamarku yang kebetulan tidak jauh dari rumah itu. Aku berdiri membersihkan darah dari wajah dan mulutku. Aku melihat diriku, ternyata pukulan dan tamparan-tamparan itu meninggalkan bekas pada kening, pipi dan hidungku. Darah mengalir dari mulutku, pakaianku robek. Aku memuji Allah yang telah menyelamatkanku dari binatang-binatang buas tersebut. Tetapi aku berkata dalam hati, “Aku telah selamat, tetapi bagaimana dengan istriku?!” Wajahnya terbayang-bayang di hadapanku, apakah ia juga menerima pukulan dan tamparan sepertiku? Laki-laki saja hampir-hampir tak sanggup menghadapinya… sementara ia adalah seorang wanita, apakah ia mampu menanggungnya?! Aku khawatir wanita yang lemah itu roboh…
Inikah saatnya perpisahan…??
Syetan mulai bekerja dan membisikkan kepadaku, “Ia akan murtad dari agamanya dan kembali menjadi Kristen, lalu engkau akan kembali ke negerimu seorang diri.” Aku jadi bingung, apa yang harus aku perbuat? Di negeri ini, kemana aku harus pergi, apa yang mesti aku lakukan? Nyawa di negeri ini murah, engkau bisa menyewa seseorang untuk membunuh orang lain hanya dengan sepuluh dollar!! Uuuh … bagaimana kalau keluarga istriku menyiksanya lalu ia menunjukkan kepada mereka tempatku, kemudian mereka mengutus seseorang untuk membunuhku di kegelapan malam…?
Aku kunci kamar, aku tetap merasa takut dan cemas sampai pagi. Kemudian aku berganti pakaian lalu pergi untuk mencari-cari informasi, aku lihat rumah mereka dari kejauhan, aku mengawasinya dan mengikuti apa yang terjadi di situ. Akan tetapi pintunya tertutup. Aku terus menunggu. Tiba-tiba pintu terbuka dan keluarlah tiga orang pemuda dan seorang tua. Ketiga pemuda itulah yang menyiksaku. Dari penampilannya nampaknya mereka akan pergi ke tempat kerja. Pintu pun tertutup dan terkunci kembali. Aku tetap mengawasi dan mengintai. Aku berharap dapat melihat wajah istriku, akan tetapi tak berhasil.
Aku terus mengawasinya sampai berjam-jam. Kemudian para laki-laki yang pergi itu kembali dari pekerjaan mereka dan memasuki rumah mereka. Aku merasa lelah, lalu kembali ke kamarku.
Pada hari kedua, aku pergi mengawasi kembali. Akan tetapi aku tidak melihat istriku. Pada hari ketiga pun sama. Aku sudah putus asa akan kehidupannya, aku menduga ia sudah mati karena kerasnya siksaan atau dibunuh! Akan tetapi seandainya ia telah mati tentu paling tidak akan terlihat kesibukan di rumah itu, akan ada yang datang untuk berta’ziah (melayat) atau menjenguk. Akan tetapi ketika aku tidak melihat sesuatu yang aneh. Akhirnya aku meyakinkan diriku bahwa ia masih hidup dan kesempatan bertemu kembali masih ada.
Pertemuan…
Pada hari yang keempat, aku tidak sabar untuk duduk di kamarku, lalu aku pergi untuk mengawasi rumah mereka dari kejauhan. Ketika para pemuda itu pergi bersama ayah mereka ke tempat kerjanya seperti biasa, sementara aku tetap mengawasi dan berharap, tiba-tiba pintu terbuka… dan ternyata wajah istriku terlihat dari balik pintu.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, aku melihat ke wajahnya, ternyata penuh dengan lingkaran-lingkaran merah dan bekas-bekas pukulan yang membiru, karena banyaknya pukulan dan tamparan. Pakaiannya bersimbah darah. Aku merasa cemas dan iba ketika melihat penampilannya. Aku segera menghampirinya. Aku melihatnya semakin jelas, ternyata darah mengalir dari luka-luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya pun mengalirkan darah. Pakaiannya robek-robek, tidak tersisa kecuali secarik kain sederhana yang menutupinya. Kedua kakinya terikat dengan belenggu!! Kedua tangannya pun diikat ke belakang dengan rantai. Tatkala aku melihatnya seperti itu aku menangis. Aku tidak dapat menguasai diriku, aku panggil ia dari kejauhan…
Keteguhan…
Istriku berkata kepadaku sambil menahan air matanya dan merintih karena pedihnya siksaan, “Dengarkan wahai Khalid, jangan engkau mencemaskan diriku, aku tetap teguh di atas perjanjian. Demi Allah yang tidak ada Tuhan selain Dia, apa yang aku temui sekarang ini tidak sebanding seujung rambut pun dengan apa yang ditemui oleh para sahabat dan tabi’in, apalagi para Nabi dan Rasul. Dan aku mengharap agar engkau tidak ikut campur dalam urusan antara aku dan keluargaku, dan pergilah cepat-cepat sekarang juga serta tunggulah di kamar sampai aku datang, insya Allah, akan tetapi perbanyaklah doa, qiyamullail dan shalat.”
Aku pun pergi dari sisinya sementara aku merasa sangat iba dan sedih atas dirinya, aku tinggal di kamarku sehari penuh menunggunya, aku mengharapkan kedatangannya. Hari berikutnya pun lewat. Hari ketiga juga berlalu, sampai malam telah larut, tiba-tiba pintu kamarku diketuk! Aku terkejut… siapakah gerangan yang di balik pintu?! Siapa yang mengetuk itu? Akan merasa sangat takut, siapa yang datang pada tengah malam begini? Boleh jadi keluarganya telah mengetahui tempatku, atau boleh jadi istriku telah mengaku lalu keluarganya datang untuk membunuhku. Aku ditimpa ketakutan seperti mau mati, tidak ada jarak antara aku dengan kematian kecuali seujung rambut. Aku bertanya dengan mengulang-ulang, “Siapa yang mengetuk pintu itu?”
Tiba-tiba terdengar suara istriku berkata dengan penuh kelembutan, “Bukalah pintu, aku Fulanah.” Kemudian aku nyalakan lampu kamar dan aku buka pintu. Ia masuk dalam keadaan gemetar dan kondisi yang mengenaskan, sementara luka-luka disekujur tubuhnya. Ia berkata, “Cepat kita pergi sekarang!” Aku berkata, “Sementara keadaanmu seperti ini?!” Ia menjawab, “Ya, cepatlah.” Aku mulai membereskan pakaianku sementara ia mengambil kopernya, ia mengganti pakaiannya dan mengeluarkan hijab dan ‘aba’ah (mantel luar) nya lalu dipakainya. Kami segera mengambil semua barang-barang kami lalu turun dan naik taksi. Wanita yang lemah itu menghempaskan tubuhnya yang lapar dan penuh luka itu ke kursi mobil…
Ke Bandara …
Begitu aku naik taksi, aku langsung berkata kepada sopir dengan bahasa Rusia, “Ke bandara pak!” Aku memang sudah mengetahui beberapa kata dalam bahasa Rusia. Tetapi istriku berkata, “Tidak, kita tidak akan pergi ke bandara, tetapi kita akan pergi ke suatu desa.”
Aku bertanya, “Kenapa? Bukankah kita akan kabur?!” Ia menjawab, “Benar, akan tetapi jika keluargaku tahu akan kepergianku mereka pasti akan segera mencari kita di bandara. Kita pergi saja ke suatu desa, jika kita telah sampai di desa tersebut kita akan turun, lalu naik mobil lain ke desa yang lainnya, kemudian ke desa lainnya, kemudian ke sebuah kota lain yang di situ ada bandara internasional.”
Ketika kami telah sampai di bandara internasional, kami segera memesan tiket untuk pulang ke negeri kami, akan tetapi pemesanan terlambat, lalu kami menyewa sebuah kamar dan tinggal di situ. Tatkala kami sudah merasa tenang tinggal di kamar, istriku melepas aba’ah (mantel luar) nya. Aku melihat kepadanya, ya Allah … ternyata tidak ada satu tempat pun yang selamat dari darah!! Kulitnya tercabik, darah-darah yang membeku, rambut yang terpotong-potong dan bibir yang membiru …
Kisah yang menakutkan…
Aku bertanya kepadanya, “Apa yang telah terjadi?.” Ia menjawab, “Ketika kita telah masuk ke rumah, aku duduk bersama keluargaku, lalu mereka berkata kepadaku, ‘Pakaian apa ini?!! Aku menjawab, ‘Ini adalah pakaian Islam.’ Mereka berkata, ‘Dan siapakah laki-laki itu?!’ Aku menjawab, ‘Dia suamiku, aku telah masuk Islam dan menikah dengan laki-laki tersebut.’ Mereka berkata, ‘Tidak mungkin ini terjadi!’”
Kemudian aku berkata, “Dengarkanlah dulu ceritaku.” Lalu aku ceritakan kepada mereka kisah laki-laki Rusia yang ingin menarikku ke lembah prostitusi, lalu bagaimana aku bisa lari darinya, kemudian pertemuanku denganmu. Mereka berkata, “Seandainya engkau menempuh jalan prostitusi tentu lebih kami sukai daripada engkau datang kepada kami sebagai muslimah.” Mereka juga berkata kepadaku, “Sekali-kali engkau tidak akan bisa keluar dari rumah ini kecuali sebagai wanita kristen orthodox atau mayat yang kaku!!”
Sejak saat itu mereka menyiksa dan memukuliku, kemudian mereka menuju kepadamu dan memukulimu, sementara aku mendengar mereka memukulimu dan engkau berteriak minta tolong, sedangkan aku saat itu dalam keadaan terikat. Dan ketika engkau lari, saudara-saudaraku kembali kepadaku dan menumpahkan cacian serta cercaannya kepadaku. Kemudian mereka pergi dan membeli rantai belenggu, lalu mereka mengikatku.
Mereka mulai mencambukku, aku merasakan cambukan yang meninggalkan bekas, mereka mencambukku dengan cambuk-cambuk yang aneh dan asing!! Setiap hari pemukulan dimulai ba’da ‘ashar sampai tiba waktu tidur, adapun di pagi hari, ayah dan saudara-saudaraku pergi ke tempat kerja, sedangkan ibuku di rumah. Nah, inilah waktu istirahatku satu-satunya. Tidak ada di sampingku selain adik perempuan yang umurnya 15 tahun. Ia mendatangiku dan menertawakan keadaanku. Percayakah engkau bahwa hingga tidur pun aku dalam keadaan pingsan? Mereka mencambukku sampai aku pingsan dan tertidur. Mereka hanya menuntut dariku agar murtad dari Islam, tetapi aku menolaknya dan berusaha keras untuk bersabar. Setelah itu adik perempuanku mulai bertanya kepadaku, “Kenapa engkau tinggalkan agamamu dan agama ibu, ayah serta kakek-kakekmu?.”
Dia adakan baginya jalan keluar …
Aku berusaha untuk meyakinkannya, aku jelaskan kepadanya tentang dien ini, aku terangkan tentang tauhid, lalu ia pun mulai merasa puas dan terkesan!! Gambaran tentang Islam mulai jelas di hadapannya!! Tiba-tiba aku dikejutkan olehnya ketika ia berkata, “Engkau di atas kebenaran … inilah agama yang benar, inilah agama yang seharusnya aku anut juga!!” Kemudian ia berkata kepadaku, “Aku akan membantumu.” Aku menjawab, “Jika engkau memang ingin membantuku maka bantulah aku untuk menemui suamiku.”
Adik perempuanku mulai melihat dari atas rumah, lalu ia melihatmu sedang berjalan, ia segera berkata kepadaku, “Sesungguhnya aku melihat seorang laki-laki yang begini dan begitu cirinya.” Aku berkata, “Dialah suamiku, jika engkau melihatnya maka bukakanlah pintu untukku agar aku bisa berbicara kepadanya.”
Dan benar, ia pun membukakan pintu lalu aku keluar dan berbicara kepadamu, akan tetapi aku tidak bisa keluar menghampirimu karena aku dalam keadaan terikat dengan dua rantai belenggu yang kuncinya dipegang oleh saudaraku, dan rantai yang ketiga diikatkan ke salah satu tiang rumah agar aku tidak bisa keluar. Kuncinya dipegang oleh adik perempuanku ini dan akan dibukanya bila aku hendak ke kamar mandi.
Ketika aku berbicara kepadamu waktu itu dan aku meminta kepadamu agar tetap tinggal sampai aku datang, keadaanku masih terikat dengan rantai belenggu. Lalu aku mulai meyakinkan adik perempuanku tentang Islam, maka ia pun masuk Islam dan ingin berkorban dengan pengorbanan yang lebih besar dari pengorbananku. Ia pun memutuskan untuk melepasku agar bisa keluar rumah, akan tetapi kunci-kunci rantai belenggu dipegang oleh saudaraku dan ia sangat menjaganya.
Pada hari tersebut, adik perempuanku menyiapkan untuk saudara-saudaraku khamr yang kental dan berat. Lalu mereka pun meminumnya sampai mabuk berat dan tidak sadar sama sekali. Kemudian adikku mengambil kunci tersebut dari kantong saudaraku dan membuka rantai-rantai belenggu itu dariku. Lalu aku datang menemuimu pada kegelapan malam itu.
Aku bertanya kepada istriku, “Bagaimana adik perempuanmu? Apa yang akan terjadi dengannya?” Ia menjawab, “Tidak masalah, aku sudah meminta kepadanya agar merahasiakan ke-Islamannya sampai kita bisa memikirkan urusannya.”
Kami pun bisa tidur malam itu, dan keesokan harinya kami pulang ke negeri kami. Begitu kami sampai di negeri kami, langsung aku masukkan istriku ke rumah sakit. Ia tinggal di situ beberapa hari menjalani pengobatan karena bekas cambukan-cambukan dan penyiksaan. Dan sekarang ini kami berdoa untuk adik perempuannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan hatinya di atas dien-Nya.
(Kisah ini dikutip dari kaset yang berjudul Qishash Mu’atstsirah, oleh Dr. Ibrahim Al Faris. Sumber: Majalah Qiblati).

Diposting oleh Abu Fahd Negara Tauhid

Sumber:

AKU MALU MENATAP WAJAH SUAMIKU



https://gizanherbal.files.wordpress.com/2011/11/93e01a357e6490c4a41f428176e4e42b_large.jpg?w=443&h=231
Pernikahan itu telah berjalan empat (4) tahun, namun pasangan suami istri itu belum dikaruniai seorang anak. Dan mulailah kanan kiri berbisik-bisik: “kok belum punya anak juga ya, masalahnya di siapa ya? Suaminya atau istrinya ya?”. Dari berbisik-bisik, akhirnya menjadi berisik.
Tanpa sepengetahuan siapa pun, suami istri itu pergi ke salah seorang dokter untuk konsultasi, dan melakukan pemeriksaaan. Hasil lab mengatakan bahwa sang istri adalah seorang wanita yang mandul, sementara sang suami tidak ada masalah apa pun dan tidak ada harapan bagi sang istri untuk sembuh dalam arti tidak peluang baginya untuk hamil dan mempunyai anak.

Melihat hasil seperti itu, sang suami mengucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, lalu menyambungnya dengan ucapan: Alhamdulillah.
Sang suami seorang diri memasuki ruang dokter dengan membawa hasil lab dan sama sekali tidak memberitahu istrinya dan membiarkan sang istri menunggu di ruang tunggu perempuan yang terpisah dari kaum laki-laki.
Sang suami berkata kepada sang dokter: “Saya akan panggil istri saya untuk masuk ruangan, akan tetapi, tolong, nanti anda jelaskan kepada istri saya bahwa masalahnya ada di saya, sementara dia tidak ada masalah apa-apa.
Kontan saja sang dokter menolak dan terheran-heran. Akan tetapi sang suami terus memaksa sang dokter, akhirnya sang dokter setuju untuk mengatakan kepada sang istri bahwa masalah tidak datangnya keturunan ada pada sang suami dan bukan ada pada sang istri.
Sang suami memanggil sang istri yang telah lama menunggunya, dan tampak pada wajahnya kesedihan dan kemuraman. Lalu bersama sang istri ia memasuki ruang dokter. Maka sang dokter membuka amplop hasil lab, lalu membaca dan mentelaahnya, dan kemudian ia berkata: “… Oooh, kamu –wahai fulan- yang mandul, sementara istrimu tidak ada masalah, dan tidak ada harapan bagimu untuk sembuh.
Mendengar pengumuman sang dokter, sang suami berkata: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan terlihat pada raut wajahnya wajah seseorang yang menyerah kepada qadha dan qadar Allah SWT.
Lalu pasangan suami istri itu pulang ke rumahnya, dan secara perlahan namun pasti, tersebarlah berita tentang rahasia tersebut ke para tetangga, kerabat dan sanak saudara.
Lima (5) tahun berlalu dari peristiwa tersebut dan sepasang suami istri bersabar, sampai akhirnya datanglah detik-detik yang sangat menegangkan, di mana sang istri berkata kepada suaminya: “Wahai fulan, saya telah bersabar selama Sembilan (9) tahun, saya tahan-tahan untuk bersabar dan tidak meminta cerai darimu, dan selama ini semua orang berkata:” betapa baik dan shalihah-nya sang istri itu yang terus setia mendampingi suaminya selama Sembilan tahun, padahal dia tahu kalau dari suaminya, ia tidak akan memperoleh keturunan”. Namun, sekarang rasanya saya sudah tidak bisa bersabar lagi, saya ingin agar engkau segera menceraikan saya, agar saya bisa menikah dengan lelaki lain dan mempunyai keturunan darinya, sehingga saya bisa melihat anak-anakku, menimangnya dan mengasuhnya.
Mendengar emosi sang istri yang memuncak, sang suami berkata: “istriku, ini cobaan dari Allah SWT, kita mesti bersabar, kita mesti …, mesti … dan mesti …”. Singkatnya, bagi sang istri, suaminya malah berceramah di hadapannya.
Akhirnya sang istri berkata: “OK, saya akan tahan kesabaranku satu tahun lagi, ingat, hanya satu tahun, tidak lebih”.
Sang suami setuju, dan dalam dirinya, dipenuhi harapan besar, semoga Allah SWT memberi jalan keluar yang terbaik bagi keduanya.
Beberapa hari kemudian, tiba-tiba sang istri jatuh sakit, dan hasil lab mengatakan bahwa sang istri mengalami gagal ginjal.
Mendengar keterangan tersebut, jatuhnya psikologis sang istri, dan mulailah memuncak emosinya. Ia berkata kepada suaminya: “Semua ini gara-gara kamu, selama ini aku menahan kesabaranku, dan jadilah sekarang aku seperti ini, kenapa selama ini kamu tidak segera menceraikan saya, saya kan ingin punya anak, saya ingin memomong dan menimang bayi, saya kan … saya kan …”.
Sang istri pun bad rest di rumah sakit.
Di saat yang genting itu, tiba-tiba suaminya berkata: “Maaf, saya ada tugas keluar negeri, dan saya berharap semoga engkau baik-baik saja”.
“Haah, pergi?”. Kata sang istri.
“Ya, saya akan pergi karena tugas dan sekalian mencari donatur ginjal, semoga dapat”. Kata sang suami.
Sehari sebelum operasi, datanglah sang donatur ke tempat pembaringan sang istri. Maka disepakatilah bahwa besok akan dilakukan operasi pemasangan ginjal dari sang donatur.
Saat itu sang istri teringat suaminya yang pergi, ia berkata dalam dirinya: “Suami apa an dia itu, istrinya operasi, eh dia malah pergi meninggalkan diriku terkapar dalam ruang bedah operasi”.
Operasi berhasil dengan sangat baik. Setelah satu pekan, suaminya datang, dan tampaklah pada wajahnya tanda-tanda orang yang kelelahan.
Ketahuilah bahwa sang donatur itu tidak ada lain orang melainkan sang suami itu sendiri. Ya, suaminya telah menghibahkan satu ginjalnya untuk istrinya, tanpa sepengetahuan sang istri, tetangga dan siapa pun selain dokter yang dipesannya agar menutup rapat rahasia tersebut.
Dan subhanallah …
Setelah Sembilan (9) bulan dari operasi itu, sang istri melahirkan anak. Maka bergembiralah suami istri tersebut, keluarga besar dan para tetangga.
Suasana rumah tangga kembali normal, dan sang suami telah menyelesaikan studi S2 dan S3-nya di sebuah fakultas syari’ah dan telah bekerja sebagai seorang panitera di sebuah pengadilan di Jeddah. Ia pun telah menyelesaikan hafalan Al-Qur’an dan mendapatkan sanad dengan riwayat Hafs, dari ‘Ashim.
Pada suatu hari, sang suami ada tugas dinas jauh, dan ia lupa menyimpan buku hariannya dari atas meja, buku harian yang selama ini ia sembunyikan. Dan tanpa sengaja, sang istri mendapatkan buku harian tersebut, membuka-bukanya dan membacanya.
Hamper saja ia terjatuh pingsan saat menemukan rahasia tentang diri dan rumah tangganya. Ia menangis meraung-raung. Setelah agak reda, ia menelpon suaminya, dan menangis sejadi-jadinya, ia berkali-kali mengulang permohonan maaf dari suaminya. Sang suami hanya dapat membalas suara telpon istrinya dengan menangis pula.
Dan setelah peristiwa tersebut, selama tiga bulanan, sang istri tidak berani menatap wajah suaminya. Jika ada keperluan, ia berbicara dengan menundukkan mukanya, tidak ada kekuatan untuk memandangnya sama sekali.