Awal mulanya…
Ia seorang gadis Rusia, berasal dari keluarga
yang taat beragama, akan tetapi ia seorang penganut kristen ortodox yang sangat
fanatik dengan kristennya.
Salah seorang pedagang Rusia menawarinya untuk pergi bersama dengan sekelompok gadis-gadis ke negara teluk untuk membeli alat-alat elektronik yang kemudian akan dijual di Rusia. Demikianlah awal kesepakatan antara pedagang dengan gadis-gadis tersebut.
Salah seorang pedagang Rusia menawarinya untuk pergi bersama dengan sekelompok gadis-gadis ke negara teluk untuk membeli alat-alat elektronik yang kemudian akan dijual di Rusia. Demikianlah awal kesepakatan antara pedagang dengan gadis-gadis tersebut.
Ketika mereka
telah sampai di sana, laki-laki itu mulai menampakkan taringnya dan
mengungkapkan niat jahatnya. Ia menawarkan kepada gadis-gadis tersebut profesi
tercela. Ia mulai merayu mereka dengan harta yang melimpah dan hubungan yang
luas, sampai sebagian besar gadis-gadis itu terpedaya dan akhirnya menerima
idenya, kecuali wanita yang satu ini. Ia sangat fanatik dengan agama kristennya
sehingga ia menolak.
Laki-laki itu menertawakannya seraya berkata, “Engkau di negeri ini tersia-sia, engkau tidak memiliki apapun selain pakaian yang engkau pakai … dan aku tidak akan memberikan apapun kepadamu”. Ia mulai menekannya, ia tempatkan wanita itu di sebuah flat (kamar) bersama gadis-gadis yang lain dan ia sembunyikan paspor-paspor mereka. Gadis-gadis yang lain tidak mampu mempertahankan prinsipnya, mereka pun larut bersama arus … sementara ia tetap teguh menjaga kesuciannya. Setiap hari ia selalu mendesak laki-laki itu untuk menyerahkan paspornya atau memulangkan dirinya ke negeri asalnya. Tetapi laki-laki itu menolak. Pada suatu hari ia berusaha untuk mencari paspor itu di flat. Setelah susah payah mencarinya akhirnya ia menemukannya. Langsung saja ia ambil paspor tersebut dan segera kabur dari flat itu.
Laki-laki itu menertawakannya seraya berkata, “Engkau di negeri ini tersia-sia, engkau tidak memiliki apapun selain pakaian yang engkau pakai … dan aku tidak akan memberikan apapun kepadamu”. Ia mulai menekannya, ia tempatkan wanita itu di sebuah flat (kamar) bersama gadis-gadis yang lain dan ia sembunyikan paspor-paspor mereka. Gadis-gadis yang lain tidak mampu mempertahankan prinsipnya, mereka pun larut bersama arus … sementara ia tetap teguh menjaga kesuciannya. Setiap hari ia selalu mendesak laki-laki itu untuk menyerahkan paspornya atau memulangkan dirinya ke negeri asalnya. Tetapi laki-laki itu menolak. Pada suatu hari ia berusaha untuk mencari paspor itu di flat. Setelah susah payah mencarinya akhirnya ia menemukannya. Langsung saja ia ambil paspor tersebut dan segera kabur dari flat itu.
Ia keluar menuju ke jalan raya, sementara ia
tidak punya apa-apa selain pakaian yang dikenakannya. Ia kebingungan, ia orang
asing yang tidak tahu kemana harus pergi, tak ada keluarga, tak ada hubungan,
tak ada harta, tak ada makanan dan tak ada juga tempat tinggal.
Wanita yang lemah itu benar-benar kebingungan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda yang sedang berjalan bersama tiga orang wanita, ia merasa tentram dengan penampilannya lalu ia menghampirinya dan mulai berbicara dengan bahasa Rusia.
Pemuda itu minta maaf karena ia tidak paham bahasa Rusia. Wanita itu berkata, “Apakah kalian bisa berbicara bahasa Inggris”. Mereka menjawab, “Ya, bisa.” Wanita itu menangis karena gembira, lalu berkata, “Aku seorang wanita dari Rusia, kisahku begini (ia menuturkan kisahnya), aku tidak punya harta dan tempat tinggal, aku ingin pulang ke negeriku, yang aku inginkan dari kalian hanyalah sekedar mau menampungku dua atau tiga hari agar aku dapat mengatur urusanku bersama keluargaku dan saudara-saudaraku di negeriku.”
Wanita yang lemah itu benar-benar kebingungan, menoleh ke kanan dan ke kiri. Tiba-tiba ia melihat seorang pemuda yang sedang berjalan bersama tiga orang wanita, ia merasa tentram dengan penampilannya lalu ia menghampirinya dan mulai berbicara dengan bahasa Rusia.
Pemuda itu minta maaf karena ia tidak paham bahasa Rusia. Wanita itu berkata, “Apakah kalian bisa berbicara bahasa Inggris”. Mereka menjawab, “Ya, bisa.” Wanita itu menangis karena gembira, lalu berkata, “Aku seorang wanita dari Rusia, kisahku begini (ia menuturkan kisahnya), aku tidak punya harta dan tempat tinggal, aku ingin pulang ke negeriku, yang aku inginkan dari kalian hanyalah sekedar mau menampungku dua atau tiga hari agar aku dapat mengatur urusanku bersama keluargaku dan saudara-saudaraku di negeriku.”
Pemuda yang bernama Khalid itu merenungkan
kata-katanya, ia berfikir boleh jadi wanita ini menipu! Sementara wanita itu
melihat kepadanya dan menangis. Lalu Khalid bermusyawarah dengan ibu dan kedua
saudara perempuannya.
Pada akhirnya mereka sepakat membawa wanita itu
ke rumah. Ia mulai menghubungi keluarganya di Rusia, akan tetapi tidak ada yang
menjawab. Jaringan telepon terputus di negeri itu! Padahal ia sudah
mengulang-ngulang menelpon setiap jam.
Keluarga itu tahu bahwa wanita itu seorang
Kristen. Mereka berusaha untuk berlemah lembut dan santun kepadanya. Wanita itu
mencintai mereka dan mereka mengajaknya untuk memeluk Islam. Akan tetapi ia
menolak dan tidak ingin berpindah agama, bahkan tidak bersedia sekedar untuk
diskusi tentang masalah agama sama sekali, karena ia dari keluarga ortodox yang
sangat fanatik membenci Islam dan kaum muslimin!
Khalid pergi ke Pusat Islam dan Dakwah (Islamic
Center) lalu membawakan untuknya beberapa buku tentang Islam dalam bahasa
Rusia. Wanita itu membacanya dengan seksama. Setelah membaca buku-buku tersebut
ia mulai bisa memahami tentang Islam. Pada akhirnya ia terkesan dan kagum
dengan agama yang baru ia kenal ini. Hari-hari terus berlalu sementara mereka
terus berusaha untuk meyakinkannya hingga akhirnya dia masuk Islam. Semakin
hari keislamannya semakin baik. Ia mulai menaruh perhatian terhadap
ajaran-ajaran dien dan semangat untuk bergaul dengan wanita-wanita yang
shalihah. Setelah memeluk Islam ia takut untuk kembali ke negerinya karena
khawatir kembali ke agama Kristen.
Pernikahan…
Karena ia telah menjadi seorang wanita yang
muslimah maka akhirnya Khalid pun menikahinya. Ternyata ia lebih teguh dalam
memegang dien daripada kebanyakan wanita-wanita muslimah lainnya. Pada suatu
hari ia pergi bersama suaminya ke pasar, di sana ia melihat seorang wanita
bercadar. Ini adalah untuk pertama kalinya ia melihat seorang wanita berjilbab
yang menutupi wajahnya (bercadar). Seorang wanita berjilbab dengan sempurna, ia
merasa heran dengan bentuk pakaian tersebut!! Ia berkata kepada suaminya ,
“Khalid, kenapa wanita itu berpakaian seperti itu? Mungkin wanita itu tertimpa
penyakit yang membuat rusak wajahnya sehingga ia menutupinya?”
Khalid menjawab, “Tidak, wanita itu berhijab
dengan hijab yang diridhoi oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala untuk hamba-hamba-Nya
dan yang diperintahkan oleh Rasul-Nya.” Ia terdiam sebentar kemudian berkata,
“Ya, benar, ini adalah hijab yang islami, yang dikehendaki oleh Allah untuk
kita.”
Khalid berkata, “Dari mana engkau tahu?” Ia
menjawab, “Aku sekarang merasakan, jika aku masuk ke pertokoan, mata-mata para
pemilik toko itu tidak lepas dari wajahku! Seakan-akan mereka mau menelan
wajahku sepotong-sepotong!! Kalau begitu wajahku ini harus ditutup, tidak boleh
ada yang melihatnya selain suamiku saja, kalau begitu aku tidak akan keluar
dari pasar ini kecuali dengan hijab seperti itu. Di mana kita bisa
membelinya?”. Khalid berkata, “Tetaplah terus dengan hijabmu ini, seperti ibu
dan saudara-saudara perempuanku.” Ia menjawab, “Tidak, aku ingin hijab seperti
yang diinginkan Allah.”
Hari-hari terus berlalu atas wanita ini
sementara tidak ada yang bertambah kecuali keimanannya. Orang-orang yang ada di
sekelilingnya menyukainya, hati dan perasaan Khalid pun terkuasai olehnya.
Pada suatu hari ia melihat paspornya, ternyata
hampir habis masa berlakunya dan harus segera diperpanjang. Yang paling sulit
adalah paspor itu harus diperpanjang di kota tempat dulu ia tinggal. Jadi mesti
pergi ke Rusia. Jika tidak, maka ia akan dianggap pendatang gelap. Khalid
memutuskan untuk pergi bersamanya, karena wanita itu tidak mau bepergian tanpa
disertai mahram.
Mereka berdua naik pesawat jawatan penerbangan
Rusia (Russian Air Lines) sementara wanita itu tetap dengan hijabnya yang
sempurna!! Ia duduk di samping suaminya dengan mantap dan penuh kewibawaan.
Khalid berkata kepadanya, “Aku khawatir kita menemui kesulitan-kesulitan karena
hijabmu ini.” Ia menjawab, “Subhanallah! engkau ingin agar aku mentaati
orang-orang kafir tersebut dan mendurhakai Allah? Tidak, demi Allah, terserah
mereka mau ngomong apa.”
Orang-orang mulai memandanginya. Dan para
pramugari mulai membagi-bagikan makanan dan khamr (bir) kepada para penumpang.
Tak lama kemudian khamr mulai beraksi di kepala mereka, kata-kata kasar mulai
bermunculan dari orang-orang di sekelilingnya yang diarahkan kepadanya. Ada
yang membuat lelucon (humor), ada yang tertawa, ada juga yang mengolok-olok.
Mereka berdiri di samping wanita itu dan mengomentari dirinya. Sementara Khalid
melihat ke arah mereka tanpa memahami ucapan mereka sedikitpun. Adapun wanita
itu tersenyum dan tertawa serta menerjemahkan omongan mereka kepadanya. Sang
suami marah, tetapi wanita itu berkata, “Jangan, jangan engkau bersedih, jangan
merasa sempit dada, ini perkara kecil dibandingkan ujian dan cobaan iman yang
dialami oleh para sahabat Nabi, baik yang laki-laki maupun perempuan.” Wanita
itu bersabar, demikian juga sang suami, hingga pesawat itu mendarat.
Di Rusia…
Khalid berkata, “Ketika kami turun di bandara,
aku menyangka bahwa kami akan pergi ke rumah keluarganya dan tinggal di sana,
setelah itu akan menyelesaikan pengurusan perpanjangan paspor kemudian pulang.
Akan tetapi pandangan istriku ternyata cukup jauh.”
Wanita itu berkata, “Keluargaku masih menganut kristen ortodox semua, mereka fanatik dengan agamanya. Oleh karena itu aku tidak ingin ke sana sekarang! Tetapi kita akan menyewa sebuah kamar di satu tempat dan tinggal di sana lalu mengurus perpanjangan paspor. Nanti sebelum pulang, kita berkunjung ke rumah keluargaku.” Khalid pun menyetujui usulan yang bagus itu.
Kami pun menyewa sebuah kamar dan bermalam di situ. Keesokan harinya kami pergi ke kantor bagian pengurusan paspor. Kami menemui petugas dan ia meminta agar kami menyerahkan paspor yang lama berikut foto pemiliknya. Istriku menyerahkan fotonya yang hitam putih, yang tak terlihat dari tubuhnya kecuali bagian wajahnya saja.
Wanita itu berkata, “Keluargaku masih menganut kristen ortodox semua, mereka fanatik dengan agamanya. Oleh karena itu aku tidak ingin ke sana sekarang! Tetapi kita akan menyewa sebuah kamar di satu tempat dan tinggal di sana lalu mengurus perpanjangan paspor. Nanti sebelum pulang, kita berkunjung ke rumah keluargaku.” Khalid pun menyetujui usulan yang bagus itu.
Kami pun menyewa sebuah kamar dan bermalam di situ. Keesokan harinya kami pergi ke kantor bagian pengurusan paspor. Kami menemui petugas dan ia meminta agar kami menyerahkan paspor yang lama berikut foto pemiliknya. Istriku menyerahkan fotonya yang hitam putih, yang tak terlihat dari tubuhnya kecuali bagian wajahnya saja.
Petugas itu berkata, “Foto ini menyalahi
aturan, kami minta foto yang berwarna, dan terlihat di situ wajah, rambut dan
leher dengan sempurna!!” Istriku menolak menyerahkan selain foto itu. Kami pun
pergi ke petugas kedua lalu petugas yang lainnya lagi, akan tetapi mereka semua
minta foto yang tidak berjilbab, sementara istriku berkata, “Tidak mungkin aku
berikan kepada mereka foto yang tabarruj (terbuka auratnya) selama-lamanya.”
Para petugas itu pun menolak melayani permintaan kami. Kemudian kami menuju ke
pimpinan utama mereka yang perempuan.
Istriku berusaha semampunya meyakinkan pimpinan
itu agar mau menerima foto tersebut. Akan tetapi ditolak. Istriku mulai
mendesak seraya berkata, “Apakah tidak engkau lihat rupaku yang sebenarnya lalu
engkau bandingkan dengan yang ada di foto itu? Yang penting wajah terlihat,
adapun rambut bisa saja berubah. Bukankah foto ini sudah cukup?!”
Pimpinan itu tetap bersikeras bahwa aturan tidak membolehkan foto seperti itu. Maka istriku berkata, “Saya tidak akan menyerahkan selain foto-foto ini, lalu apa jalan keluarnya?” Sang pimpinan berkata, “Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah ini kecuali direktur utama di kantor pusat pengurusan paspor yang berada di Moskow.” Maka kami pun keluar dari kantor tersebut.
Pimpinan itu tetap bersikeras bahwa aturan tidak membolehkan foto seperti itu. Maka istriku berkata, “Saya tidak akan menyerahkan selain foto-foto ini, lalu apa jalan keluarnya?” Sang pimpinan berkata, “Tidak ada yang bisa menyelesaikan masalah ini kecuali direktur utama di kantor pusat pengurusan paspor yang berada di Moskow.” Maka kami pun keluar dari kantor tersebut.
Ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Wahai
Khalid, kita akan pergi ke Moskow.” Ketika itu aku berkata kepadanya,
“Sudahlah, serahkan saja foto yang mereka inginkan itu, bukankah Allah tidak
akan membebani seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya? Maka bertakwalah
kepada Allah semampumu. Dan ini sesuatu yang darurat, sementara paspor itu
tidak akan dilihat kecuali oleh segelintir orang, itupun untuk sesuatu yang
darurat, kemudian setelah itu engkau sembunyikan di rumahmu sampai habis masa
berlakunya. Lepaskan dirimu dari kesulitan-kesulitan ini, kita tidak perlu
pergi ke Moskow.”
Ia menjawab, “Tidak, tidak mungkin aku tampil dengan bentuk yang tabarruj (membuka aurat) setelah aku mengenal agama Allah ini.”
Ia menjawab, “Tidak, tidak mungkin aku tampil dengan bentuk yang tabarruj (membuka aurat) setelah aku mengenal agama Allah ini.”
Di Moskow…
Ia mendesakku, akhirnya kami pun pergi ke
Moskow, lalu kami menyewa sebuah kamar dan tinggal di situ. Keesokan harinya
kami pergi ke kantor pusat pengurusan paspor. Kami menemui petugas pertama,
kedua dan ketiga. Pada akhirnya kami terpaksa menghadap direktur utama. Kami
menemuinya, ternyata ia termasuk orang yang paling buruk akhlaknya! Ketika ia
melihat paspor, ia membolak-balik foto-foto kemudian mengarahkan pandangannya
ke arah istriku, seraya berkata, “Siapa yang bisa membuktikan kepadaku bahwa
engkau adalah pemilik foto-foto ini?” Ia ingin agar istriku membuka wajahnya
agar dapat melihatnya. Istriku berkata kepadanya, “Katakan saja kepada salah
seorang pegawai wanita yang ada di sini atau sekretaris wanita untuk menemuiku
lalu aku bersedia membuka wajahku untuknya, sehingga ia dapat mencocokkan
foto-foto itu. Adapun engkau maka tidak akan bisa mencocokkannya, aku tidak akan
membuka wajahku untukmu.”
Orang itu marah lalu mengambil paspor lama dan
foto-fotonya berikut berkas-berkas lainnya kemudian dijadikan satu dan
dilemparkan ke laci meja pribadinya. Ia berkata kepada istriku, “Engkau tidak
akan bisa memperoleh paspor yang lama ataupun yang baru kecuali jika engkau
serahkan kepadaku foto-foto yang benar-benar cocok dan kami bisa mencocokkannya
denganmu.”
Istriku mulai berbicara kepadanya dan berusaha untuk meyakinkannya. Kedua orang itu berbicara dengan bahasa Rusia, sementara aku memandangi keduanya tanpa faham sedikitpun pembicaraan mereka. Aku marah … tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa, sementara orang itu mengulang-ngulang, “Engkau harus mendatangkan foto-foto yang sesuai dengan syarat-syarat kami.”
Istriku mulai berbicara kepadanya dan berusaha untuk meyakinkannya. Kedua orang itu berbicara dengan bahasa Rusia, sementara aku memandangi keduanya tanpa faham sedikitpun pembicaraan mereka. Aku marah … tetapi aku tak dapat berbuat apa-apa, sementara orang itu mengulang-ngulang, “Engkau harus mendatangkan foto-foto yang sesuai dengan syarat-syarat kami.”
Istriku tetap berusaha untuk meyakinkannya…
tetapi tidak ada hasilnya! Akhirnya ia diam dan berdiri, aku menoleh kepadanya
dan mengulangi perkataanku sebelumnya, “Wahai istriku yang terhormat, Allah
tidak akan memberikan beban kepada seseorang kecuali sesuai dengan kemampuannya,
dan kita dalam keadaan darurat, sampai kapan kita berkeliling di kantor-kantor
pengurusan paspor?”
Dia menjawab, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar dan Dia karuniakan kepadanya rizki dari arah yang tidak diduga-duga.”
Dia menjawab, “Barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar dan Dia karuniakan kepadanya rizki dari arah yang tidak diduga-duga.”
Perdebatan antara aku dengannya semakin sengit,
direktur pengurusan paspor itupun marah dan kami diusir dari kantornya. Kami
keluar sambil menyeret langkah-langkah kami, perasaanku antara kasihan dan
marah kepada istriku. Kami pun pergi untuk saling mempelajari perkara ini di
kamar kami. Aku berusaha untuk meyakinkannya, akan tetapi ia tetap
bersungguh-sungguh meyakinkanku, sampai larut malam. Kami pun shalat Isya’.
Fikiranku tetap risau dengan musibah ini, kemudian kami makan malam seadanya lalu
aku letakkan kepalaku untuk tidur.
Bagaimana engkau bisa tidur…
Ketika ia melihatku seperti itu, wajahnya
berubah lalu menoleh kepadaku seraya berkata, “Khalid, engkau akan tidur?!” Aku
menjawab, “Ya, apakah engkau tidak merasa capek?!”
Ia berkata, “Subhanallah, dalam kondisi yang sulit ini engkau bisa tidur?! Kita sedang melewati saat-saat yang kita harus lari kepada Allah, bangun dan mohonlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, karena ini adalah waktu untuk memohon.”
Ia berkata, “Subhanallah, dalam kondisi yang sulit ini engkau bisa tidur?! Kita sedang melewati saat-saat yang kita harus lari kepada Allah, bangun dan mohonlah kepada Allah dengan sungguh-sungguh, karena ini adalah waktu untuk memohon.”
Aku pun bangun dan shalat sesuai dengan yang
Allah kehendaki untukku, kemudian aku tidur, adapun dia tetap berdiri untuk
shalat dan shalat, setiap kali aku terbangun dan melihatnya, aku dapati dia
masih dalam keadaan ruku’ atau sujud atau berdiri atau berdoa atau menangis,
sampai terbit fajar. Kemudian ia membangunkanku seraya berkata, “Telah masuk
waktu fajar, mari kita shalat berjam’ah.”
Aku pun bangun, berwudhu’ dan shalat
berjama’ah, kemudian ia tidur sejenak. Setelah matahari terbit ia terbangun
seraya berkata, “Mari kita pergi ke kantor pengurusan paspor!!”
Aku berkata, “Kita akan pergi ke kantor pengurusan paspor lagi?! Dengan argumen apa?! Mana foto-fotonya, kita masih belum memiliki foto-foto itu!!”
Aku berkata, “Kita akan pergi ke kantor pengurusan paspor lagi?! Dengan argumen apa?! Mana foto-fotonya, kita masih belum memiliki foto-foto itu!!”
Ia berkata, “Marilah kita pergi dan berusaha,
jangan putus asa dari rahmat Allah.” Kami pun pergi. Demi Allah, ketika
kaki-kaki kami menginjak lantai ruang pertama kantor pengurusan paspor tersebut
dan mereka melihat istriku -yang sudah mereka ketahui sebelumnya- dengan
hijabnya itu, tiba-tiba salah seorang petugas memanggil, ”Engkau Fulanah?”
Istriku menjawab, “Ya, benar!” Petugas itu berkata, “Ambillah paspormu.” Dan ternyata paspor itu telah beres, lengkap dengan foto-fotonya yang berjilbab. Aku merasa gembira, lalu ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar.”
Istriku menjawab, “Ya, benar!” Petugas itu berkata, “Ambillah paspormu.” Dan ternyata paspor itu telah beres, lengkap dengan foto-fotonya yang berjilbab. Aku merasa gembira, lalu ia menoleh kepadaku seraya berkata, “Bukankah telah aku katakan kepadamu, barangsiapa yang bertakwa kepada Allah, niscaya Dia adakan baginya jalan keluar.”
Tatkala kami ingin keluar, petugas itu berkata,
“Kalian harus kembali ke kota yang kalian datangi pertama kali agar paspor Anda
distempel di sana.” Kami pun kembali ke kota yang pertama dan aku berkata dalam
hatiku, ini adalah kesempatan untuk mengunjungi keluarganya sebelum kami
meninggalkan Rusia. Akhirnya kami sampai di kota keluarganya. Kami menyewa
sebuah kamar kemudian kami menstempel paspor tersebut.
Perjalanan yang penuh siksaan…
Kami pergi mengunjungi keluarganya. Ternyata
rumah itu tampak kuno dan sederhana. Nampak jelas ada tanda-tanda kemiskinan di
sana. Kami mengetuk pintu rumah tersebut dan yang membukakan pintu adalah kakak
laki-lakinya yang tertua, ia seorang pemuda yang kekar otot-ototnya. Istriku
gembira dapat bertemu dengan kakaknya, ia membuka wajahnya dan tersenyum serta
mengucapkan selamat berjumpa! Adapun sang kakak -ketika pertama kali melihat
adiknya- wajahnya terlihat gembira dengan kepulangannya yang selamat tapi
bercampur heran karena pakaiannya yang hitam dan menutup semuanya itu.
Istriku masuk sambil tersenyum dan memeluk
saudaranya. Aku pun ikut masuk di belakangnya dan duduk di ruang tamu, aku
duduk seorang diri. Adapun dia, terus masuk ke dalam rumah. Aku mendengar
mereka berbicara dengan bahasa Rusia. Aku tidak faham sama-sekali, tetapi aku
perhatikan nada suara mereka semakin meninggi dan keras!! Logatnya pun
berubah!! Teriakan mulai meninggi!!… Tiba-tiba mereka semua meneriaki istriku,
sementara ia membela diri dan menyanggah perkataan mereka. Aku merasa ada hal
yang tidak baik dalam urusan ini, tetapi aku tidak bisa memastikannya karena
aku tidak faham sedikitpun dari pembicaraan mereka.
Tiba-tiba suara mereka semakin mendekat ke
ruangan tamu –dimana aku berada di situ- kemudian keluarlah tiga orang pemuda
dipimpin oleh seorang yang agak tua menemuiku. Pada mulanya aku menduga bahwa
mereka akan menyambut kedatangan suami dari anak mereka! Ternyata mereka
menyerangku seperti binatang buas. Tiba-tiba sambutan berubah menjadi
pukulan-pukulan dan tamparan-tamparan!! Aku berusaha untuk membela diri dari
serangan mereka, aku berteriak dan minta tolong, hingga habis kekuatanku. Aku
merasa di rumah inilah akhir hidupku. Mereka semakin menghujaniku dengan
pukulan-pukulan. Sementara itu aku berusaha menoleh ke sekitarku, aku berusaha
mengingat-ingat dari pintu mana aku tadi masuk supaya aku bisa keluar. Ketika
aku melihat pintu, aku segera bangkit membuka pintu dan kabur. Sementara mereka
mengejar di belakangku. Aku masuk di tengah kerumunan orang hingga tersembunyi
dari mereka.
Kemudian aku menuju ke kamarku yang kebetulan
tidak jauh dari rumah itu. Aku berdiri membersihkan darah dari wajah dan
mulutku. Aku melihat diriku, ternyata pukulan dan tamparan-tamparan itu
meninggalkan bekas pada kening, pipi dan hidungku. Darah mengalir dari mulutku,
pakaianku robek. Aku memuji Allah yang telah menyelamatkanku dari
binatang-binatang buas tersebut. Tetapi aku berkata dalam hati, “Aku telah
selamat, tetapi bagaimana dengan istriku?!” Wajahnya terbayang-bayang di
hadapanku, apakah ia juga menerima pukulan dan tamparan sepertiku? Laki-laki
saja hampir-hampir tak sanggup menghadapinya… sementara ia adalah seorang
wanita, apakah ia mampu menanggungnya?! Aku khawatir wanita yang lemah itu
roboh…
Inikah saatnya perpisahan…??
Syetan mulai bekerja dan membisikkan kepadaku,
“Ia akan murtad dari agamanya dan kembali menjadi Kristen, lalu engkau akan
kembali ke negerimu seorang diri.” Aku jadi bingung, apa yang harus aku perbuat?
Di negeri ini, kemana aku harus pergi, apa yang mesti aku lakukan? Nyawa di
negeri ini murah, engkau bisa menyewa seseorang untuk membunuh orang lain hanya
dengan sepuluh dollar!! Uuuh … bagaimana kalau keluarga istriku menyiksanya
lalu ia menunjukkan kepada mereka tempatku, kemudian mereka mengutus seseorang
untuk membunuhku di kegelapan malam…?
Aku kunci kamar, aku tetap merasa takut dan
cemas sampai pagi. Kemudian aku berganti pakaian lalu pergi untuk mencari-cari
informasi, aku lihat rumah mereka dari kejauhan, aku mengawasinya dan mengikuti
apa yang terjadi di situ. Akan tetapi pintunya tertutup. Aku terus menunggu.
Tiba-tiba pintu terbuka dan keluarlah tiga orang pemuda dan seorang tua. Ketiga
pemuda itulah yang menyiksaku. Dari penampilannya nampaknya mereka akan pergi
ke tempat kerja. Pintu pun tertutup dan terkunci kembali. Aku tetap mengawasi
dan mengintai. Aku berharap dapat melihat wajah istriku, akan tetapi tak
berhasil.
Aku terus mengawasinya sampai berjam-jam.
Kemudian para laki-laki yang pergi itu kembali dari pekerjaan mereka dan
memasuki rumah mereka. Aku merasa lelah, lalu kembali ke kamarku.
Pada hari kedua, aku pergi mengawasi kembali. Akan tetapi aku tidak melihat istriku. Pada hari ketiga pun sama. Aku sudah putus asa akan kehidupannya, aku menduga ia sudah mati karena kerasnya siksaan atau dibunuh! Akan tetapi seandainya ia telah mati tentu paling tidak akan terlihat kesibukan di rumah itu, akan ada yang datang untuk berta’ziah (melayat) atau menjenguk. Akan tetapi ketika aku tidak melihat sesuatu yang aneh. Akhirnya aku meyakinkan diriku bahwa ia masih hidup dan kesempatan bertemu kembali masih ada.
Pada hari kedua, aku pergi mengawasi kembali. Akan tetapi aku tidak melihat istriku. Pada hari ketiga pun sama. Aku sudah putus asa akan kehidupannya, aku menduga ia sudah mati karena kerasnya siksaan atau dibunuh! Akan tetapi seandainya ia telah mati tentu paling tidak akan terlihat kesibukan di rumah itu, akan ada yang datang untuk berta’ziah (melayat) atau menjenguk. Akan tetapi ketika aku tidak melihat sesuatu yang aneh. Akhirnya aku meyakinkan diriku bahwa ia masih hidup dan kesempatan bertemu kembali masih ada.
Pertemuan…
Pada hari yang keempat, aku tidak sabar untuk
duduk di kamarku, lalu aku pergi untuk mengawasi rumah mereka dari kejauhan.
Ketika para pemuda itu pergi bersama ayah mereka ke tempat kerjanya seperti
biasa, sementara aku tetap mengawasi dan berharap, tiba-tiba pintu terbuka… dan
ternyata wajah istriku terlihat dari balik pintu.
Ia menoleh ke kanan dan ke kiri, aku melihat ke
wajahnya, ternyata penuh dengan lingkaran-lingkaran merah dan bekas-bekas
pukulan yang membiru, karena banyaknya pukulan dan tamparan. Pakaiannya
bersimbah darah. Aku merasa cemas dan iba ketika melihat penampilannya. Aku
segera menghampirinya. Aku melihatnya semakin jelas, ternyata darah mengalir
dari luka-luka di wajahnya. Kedua tangan dan kakinya pun mengalirkan darah.
Pakaiannya robek-robek, tidak tersisa kecuali secarik kain sederhana yang
menutupinya. Kedua kakinya terikat dengan belenggu!! Kedua tangannya pun diikat
ke belakang dengan rantai. Tatkala aku melihatnya seperti itu aku menangis. Aku
tidak dapat menguasai diriku, aku panggil ia dari kejauhan…
Keteguhan…
Istriku berkata kepadaku sambil menahan air
matanya dan merintih karena pedihnya siksaan, “Dengarkan wahai Khalid, jangan
engkau mencemaskan diriku, aku tetap teguh di atas perjanjian. Demi Allah yang
tidak ada Tuhan selain Dia, apa yang aku temui sekarang ini tidak sebanding
seujung rambut pun dengan apa yang ditemui oleh para sahabat dan tabi’in,
apalagi para Nabi dan Rasul. Dan aku mengharap agar engkau tidak ikut campur
dalam urusan antara aku dan keluargaku, dan pergilah cepat-cepat sekarang juga
serta tunggulah di kamar sampai aku datang, insya Allah, akan tetapi
perbanyaklah doa, qiyamullail dan shalat.”
Aku pun pergi dari sisinya sementara aku merasa
sangat iba dan sedih atas dirinya, aku tinggal di kamarku sehari penuh
menunggunya, aku mengharapkan kedatangannya. Hari berikutnya pun lewat. Hari
ketiga juga berlalu, sampai malam telah larut, tiba-tiba pintu kamarku diketuk!
Aku terkejut… siapakah gerangan yang di balik pintu?! Siapa yang mengetuk itu?
Akan merasa sangat takut, siapa yang datang pada tengah malam begini? Boleh
jadi keluarganya telah mengetahui tempatku, atau boleh jadi istriku telah
mengaku lalu keluarganya datang untuk membunuhku. Aku ditimpa ketakutan seperti
mau mati, tidak ada jarak antara aku dengan kematian kecuali seujung rambut.
Aku bertanya dengan mengulang-ulang, “Siapa yang mengetuk pintu itu?”
Tiba-tiba terdengar suara istriku berkata
dengan penuh kelembutan, “Bukalah pintu, aku Fulanah.” Kemudian aku nyalakan
lampu kamar dan aku buka pintu. Ia masuk dalam keadaan gemetar dan kondisi yang
mengenaskan, sementara luka-luka disekujur tubuhnya. Ia berkata, “Cepat kita pergi
sekarang!” Aku berkata, “Sementara keadaanmu seperti ini?!” Ia menjawab, “Ya,
cepatlah.” Aku mulai membereskan pakaianku sementara ia mengambil kopernya, ia
mengganti pakaiannya dan mengeluarkan hijab dan ‘aba’ah (mantel luar) nya lalu
dipakainya. Kami segera mengambil semua barang-barang kami lalu turun dan naik
taksi. Wanita yang lemah itu menghempaskan tubuhnya yang lapar dan penuh luka
itu ke kursi mobil…
Ke Bandara …
Begitu aku naik taksi, aku langsung berkata
kepada sopir dengan bahasa Rusia, “Ke bandara pak!” Aku memang sudah mengetahui
beberapa kata dalam bahasa Rusia. Tetapi istriku berkata, “Tidak, kita tidak
akan pergi ke bandara, tetapi kita akan pergi ke suatu desa.”
Aku bertanya, “Kenapa? Bukankah kita akan kabur?!” Ia menjawab, “Benar, akan tetapi jika keluargaku tahu akan kepergianku mereka pasti akan segera mencari kita di bandara. Kita pergi saja ke suatu desa, jika kita telah sampai di desa tersebut kita akan turun, lalu naik mobil lain ke desa yang lainnya, kemudian ke desa lainnya, kemudian ke sebuah kota lain yang di situ ada bandara internasional.”
Aku bertanya, “Kenapa? Bukankah kita akan kabur?!” Ia menjawab, “Benar, akan tetapi jika keluargaku tahu akan kepergianku mereka pasti akan segera mencari kita di bandara. Kita pergi saja ke suatu desa, jika kita telah sampai di desa tersebut kita akan turun, lalu naik mobil lain ke desa yang lainnya, kemudian ke desa lainnya, kemudian ke sebuah kota lain yang di situ ada bandara internasional.”
Ketika kami telah sampai di bandara
internasional, kami segera memesan tiket untuk pulang ke negeri kami, akan
tetapi pemesanan terlambat, lalu kami menyewa sebuah kamar dan tinggal di situ.
Tatkala kami sudah merasa tenang tinggal di kamar, istriku melepas aba’ah
(mantel luar) nya. Aku melihat kepadanya, ya Allah … ternyata tidak ada satu
tempat pun yang selamat dari darah!! Kulitnya tercabik, darah-darah yang
membeku, rambut yang terpotong-potong dan bibir yang membiru …
Kisah yang menakutkan…
Aku bertanya kepadanya, “Apa yang telah
terjadi?.” Ia menjawab, “Ketika kita telah masuk ke rumah, aku duduk bersama
keluargaku, lalu mereka berkata kepadaku, ‘Pakaian apa ini?!! Aku menjawab,
‘Ini adalah pakaian Islam.’ Mereka berkata, ‘Dan siapakah laki-laki itu?!’ Aku
menjawab, ‘Dia suamiku, aku telah masuk Islam dan menikah dengan laki-laki
tersebut.’ Mereka berkata, ‘Tidak mungkin ini terjadi!’”
Kemudian aku berkata, “Dengarkanlah dulu
ceritaku.” Lalu aku ceritakan kepada mereka kisah laki-laki Rusia yang ingin
menarikku ke lembah prostitusi, lalu bagaimana aku bisa lari darinya, kemudian
pertemuanku denganmu. Mereka berkata, “Seandainya engkau menempuh jalan
prostitusi tentu lebih kami sukai daripada engkau datang kepada kami sebagai
muslimah.” Mereka juga berkata kepadaku, “Sekali-kali engkau tidak akan bisa
keluar dari rumah ini kecuali sebagai wanita kristen orthodox atau mayat yang
kaku!!”
Sejak saat itu mereka menyiksa dan memukuliku,
kemudian mereka menuju kepadamu dan memukulimu, sementara aku mendengar mereka
memukulimu dan engkau berteriak minta tolong, sedangkan aku saat itu dalam
keadaan terikat. Dan ketika engkau lari, saudara-saudaraku kembali kepadaku dan
menumpahkan cacian serta cercaannya kepadaku. Kemudian mereka pergi dan membeli
rantai belenggu, lalu mereka mengikatku.
Mereka mulai mencambukku, aku merasakan
cambukan yang meninggalkan bekas, mereka mencambukku dengan cambuk-cambuk yang
aneh dan asing!! Setiap hari pemukulan dimulai ba’da ‘ashar sampai tiba waktu
tidur, adapun di pagi hari, ayah dan saudara-saudaraku pergi ke tempat kerja,
sedangkan ibuku di rumah. Nah, inilah waktu istirahatku satu-satunya. Tidak ada
di sampingku selain adik perempuan yang umurnya 15 tahun. Ia mendatangiku dan
menertawakan keadaanku. Percayakah engkau bahwa hingga tidur pun aku dalam
keadaan pingsan? Mereka mencambukku sampai aku pingsan dan tertidur. Mereka
hanya menuntut dariku agar murtad dari Islam, tetapi aku menolaknya dan
berusaha keras untuk bersabar. Setelah itu adik perempuanku mulai bertanya
kepadaku, “Kenapa engkau tinggalkan agamamu dan agama ibu, ayah serta
kakek-kakekmu?.”
Dia adakan baginya jalan keluar …
Aku berusaha untuk meyakinkannya, aku jelaskan
kepadanya tentang dien ini, aku terangkan tentang tauhid, lalu ia pun mulai
merasa puas dan terkesan!! Gambaran tentang Islam mulai jelas di hadapannya!!
Tiba-tiba aku dikejutkan olehnya ketika ia berkata, “Engkau di atas kebenaran …
inilah agama yang benar, inilah agama yang seharusnya aku anut juga!!” Kemudian
ia berkata kepadaku, “Aku akan membantumu.” Aku menjawab, “Jika engkau memang
ingin membantuku maka bantulah aku untuk menemui suamiku.”
Adik perempuanku mulai melihat dari atas rumah,
lalu ia melihatmu sedang berjalan, ia segera berkata kepadaku, “Sesungguhnya
aku melihat seorang laki-laki yang begini dan begitu cirinya.” Aku berkata,
“Dialah suamiku, jika engkau melihatnya maka bukakanlah pintu untukku agar aku
bisa berbicara kepadanya.”
Dan benar, ia pun membukakan pintu lalu aku
keluar dan berbicara kepadamu, akan tetapi aku tidak bisa keluar menghampirimu
karena aku dalam keadaan terikat dengan dua rantai belenggu yang kuncinya
dipegang oleh saudaraku, dan rantai yang ketiga diikatkan ke salah satu tiang
rumah agar aku tidak bisa keluar. Kuncinya dipegang oleh adik perempuanku ini
dan akan dibukanya bila aku hendak ke kamar mandi.
Ketika aku berbicara kepadamu waktu itu dan aku
meminta kepadamu agar tetap tinggal sampai aku datang, keadaanku masih terikat
dengan rantai belenggu. Lalu aku mulai meyakinkan adik perempuanku tentang
Islam, maka ia pun masuk Islam dan ingin berkorban dengan pengorbanan yang
lebih besar dari pengorbananku. Ia pun memutuskan untuk melepasku agar bisa
keluar rumah, akan tetapi kunci-kunci rantai belenggu dipegang oleh saudaraku
dan ia sangat menjaganya.
Pada hari tersebut, adik perempuanku menyiapkan
untuk saudara-saudaraku khamr yang kental dan berat. Lalu mereka pun meminumnya
sampai mabuk berat dan tidak sadar sama sekali. Kemudian adikku mengambil kunci
tersebut dari kantong saudaraku dan membuka rantai-rantai belenggu itu dariku.
Lalu aku datang menemuimu pada kegelapan malam itu.
Aku bertanya kepada istriku, “Bagaimana adik
perempuanmu? Apa yang akan terjadi dengannya?” Ia menjawab, “Tidak masalah, aku
sudah meminta kepadanya agar merahasiakan ke-Islamannya sampai kita bisa
memikirkan urusannya.”
Kami pun bisa tidur malam itu, dan keesokan
harinya kami pulang ke negeri kami. Begitu kami sampai di negeri kami, langsung
aku masukkan istriku ke rumah sakit. Ia tinggal di situ beberapa hari menjalani
pengobatan karena bekas cambukan-cambukan dan penyiksaan. Dan sekarang ini kami
berdoa untuk adik perempuannya agar Allah Subhanahu wa Ta’ala meneguhkan
hatinya di atas dien-Nya.
(Kisah ini dikutip dari kaset yang berjudul
Qishash Mu’atstsirah, oleh Dr. Ibrahim Al Faris. Sumber: Majalah Qiblati).
Diposting oleh Abu Fahd Negara Tauhid
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar