MAKALAH
FIQH II
(KAFA’AH
/ KEDUDUKAN DALAM PERNIKAHAN)
BIMBINGAN
KONSELING ISLAM (BKI)
Dosen:
Arif Fikri, SHI, M.Ag
DISUSUN OLEH : RATNA TAKARINA /
1341040011
KELOMPOK : 4
KELAS : B
SEMESTER : 2
JURUSAN
BIMBINGAN KONSELING DAN ISLAM
FAKULTAS
DAKWAH IAIN RADEN INTAN
BANDAR
LAMPUNG
2013/2014
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat,
Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan
makalah ini yang berjudul “KAFA’AH / KEDUDUKAN DALAM PERNIKAHAN” dalam
bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat
dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca
dalam administrasi pendidikan.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat
memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan
kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun
untuk kesempurnaan makalah ini.
Bandar Lampung, 7 Maret 2014
Penulis,
DAFTAR
ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL................................................................................... i
KATA PENGANTAR................................................................................ ii
DAFTAR ISI................................................................................................ iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar
Belakang Masalah..................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah.............................................................................. 1
C. Tujuan
Masalah.................................................................................. 2
BAB II PEMBAHASAN............................................................................. 3
A. Pengertian Kafa’ah............................................................................. 3
B. Ukuran Kafa’ah.................................................................................. 7
BAB III PENUTUP..................................................................................... 10
A. Kesimpulan......................................................................................... 10
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Banyak hal yang dapat menjadi dasar
terjadinya pernikahan. Cinta, sayang, ingin, mampu,
adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama dua insan melangsungkan
pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan
manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan
psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya,
pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis yang dimiliki manusia.
Namun, terlepas dari berbagai alasan
tersebut, Islam menganjurkan beberapa syarat yang
hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan
syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua
insan yang berkasih dan juga keluarga.
Mengapa demikian, pada awalnya kedua insan
ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin disatukan dengan tata cara yang benar
menurut syariat Islam. Kalimat ‘individu yang berbeda’
inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafa’ah dalam sebuah pernikahan. Agar kelak
terdapat kesesuaian, keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan
mengarungi kehidupan berdua.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka
rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Apa pengertian dari Kafa’ah ?
2.
Bagaimana ukuran Kafa’ah dalam Islam ?
3.
Apa saja kriteria Kafa’ah
menurut ulama fiqh ?
4.
Bagaimana
perkawinan yang tidak Sekufu’ ?
C.
Tujuan
Masalah
Tujuan
pembuatan makalah ini adalah untuk :
1.
Untuk mengetahui pengertian Kafa’ah.
2.
Untuk mengetahui ukuran Kafa’ah dalam Islam.
3.
Untuk mengetahui kriteria Kafa’ah menurut ulama
fiqh.
4.
Untuk mengetahui perkawinan yang tidak Sekufu’.
BAB II
PEMBAHASAN
Kafa’ah
Dalam Perkawinan
1.
Pengertian
Kafa’ah
Kafa’ah
atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, keserasian/kesesuaian,
serupa, sederajat, sebanding,[1]
sama, serasi,[2]
sepadan,[3]
setingkat,[4]
kesetaraan,[5]
sesuai.[6]”
Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan suami-istri yang
memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yaitu:
1.
Keduanya beragama Islam;
2.
Memiliki rupa yang tampan dan cantik;
3.
Keduanya dari keturunan yang baik;
4.
Keduanya orang kaya;
5.
Keduanya berpendidikan; dan sebagainya.
Dalam ajaran
Islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon suami-istri adalah
kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan penentu stabilitas rumah
tangga. Percuma saja, tampan dan cantik jika kehidupannya kurang bermoral, kaya
raya jika kehidupannya penuh dengan pemborosan dan dikuasai hawa nafsu. Semua
itu akan sirna.
Karena
kesepadanan diutamakan agamnya, orang Islam diharamkan menikah dengan orang
musyrik dan ahli kitab yang juga telah musyrik, apalagi jika seorang muslim
menikah secara tidak normal, misalnya menjadi homoseksual atau lesbian. Semua
itu merupakan perbuatan yang menyimpang dari prinsip kesepadanan. Oleh karena
itu, prinsip kesepadanan dilaksanakan untuk dijadikan patokan dalam membentuk
rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[7]
Yang
dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum
Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau,
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian, terutama dalam hal agama,
yaitu akhlak dan ibadah.[8]
Sebab,
kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan
berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah Swt. Adalah sama.
Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.[9]
Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:
Artinya:
Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan
seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya
kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu
di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]: 13).[10]
Oleh
sebagian orang, kufu’ ini dianggap sebagai salah satu syarat sahnya akad nikah.[11]
Setingkat
dalam perkawinan, antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat, yaitu
menurut tingkat dua ibu bapa.
1.
Agama.
2.
Merdeka atau hamba.
3.
Keturunan.
5.
Perusahaan.
6.
Kekayaan.
Menurut
ulama penganut Hanbali berpendapat bahwa kafa’ah itu dalam hal-hal selain,
yaitu: penyakit kusta, penyakit sopak, gila dan impoten.
Berkenaan
dengan kufu’ (keseimbangan) ini, terdapat banyak pendapat. Berikut ini beberapa
pendapat menyangkut masalah kufu’ :
Diriwayatkan
dari Imam Ahmad dalam sebuah riwayat bahwa kafa’ah (kufu’) merupakan syarat
sahnya nikah. Dalam pendapat yang kedua, Imam Ahmad mengemukakan, bahwa kafa’ah
itu meskipun diperlukan, tetapi ia bukan sebagai syarat sahnya nikah.
Pernikahan akan tetap sah tanpa adanya kafa’ah. Yang benar, kafa’ah itu tidak
disyaratkan. Riwayat yang menyebutkan masalah itu menunjukkan bahwa secara
global, kafa’ah itu diperlukan, tetapi tidak dianggap sebagai syarat.
Yang
demikian itu, karena pengantin wanita dan para walinya mempunyai hak. Bagi
siapa yang tidak menyetujui, maka boleh membatalkan. Oleh karena itu, ketika
ada seseorang yang akan menikahkan puterinya dengan anak laki-laki saudaranya
dengan tujuan agar laki-laki mengangkat dirinya dari kehinaan melalui anak
perempuannya, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan pilihan kepada
puterinya itu, hingga akhirnya ia mengizinkan apa yang dilakukan ayahnya tersebut.[14]
Kufu’
ini tidak menjadi syarat bagi perkawinan, tetapi jika tidak dengan keredhaan
masing-masing, boleh yang lain membatalkan pernikahan itu dengan beralasan
tidak kufu’ (setingkat). Kufu’ (persamaan tingkat) itu hak perempuan dan
walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keredhaan bersama.
Pendapat
yang lebih kuat ditinjau dari alasannya, kufu’ itu hanya berlaku mengenai
keagamaan, baik mengenai pokok agama, seperti Islam dan bukan Islam, maupun
kesempurnaannya, seperti orang yang baik (ta’at), ia tidak sekufu’ dengan orang
yang jahat dan orang yang tidak ta’at.[15]
Artinya:
“Laki-laki pezina tidak kawin melainkan dengan perempuan pezina atau perempuan
musyrik dan perempuan pezina tidak menikah melainkan dengan laki-laki pezina
atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang
mu’min”. (QS. An-Nur [24]: 3).[16]
Sabda Rasulullah S.a.w. :
“Tidak
ada kelebihan orang Arab atas orang yang bukan Arab dan sebaliknya dan tidak
pada orang putih atas orang hitam dan sebaliknya, tetapi kelebihan yang satu
dari yang lain hanyalah dengan taqwa.” Riwayat Asshabus-sunan.[17]
Kafa’ah
dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan
suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
goncangan rumah tangga.
Kafa’ah
dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan
sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya.
Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan
problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya
perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.[18]
2.
Ukuran
Kafa’ah
Masalah
kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang
lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang
laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan
perempuan yang bersederajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun
berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang
tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah
dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat
menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya
menghalangi atau menuntut pembatalan.
Selain
itu, ada kerelaan dari walinya yang mengadakan dari pihak perempuannya. Akan
tetapi, jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur
berarti dia tidak kufu’ dengan perempuan yang salehah. Bagi perempuan salehah jika
dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis
dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.[19]
Ibnu
Rusyd berkata: Dikalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa
apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr
(pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak
menolak perkawinan tersebut. Begitu pula halnya apabila seorang gadis
dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah
dengan kata-kata talak. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan
antara keduanya. [20]
Lebih
lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha juga berbeda pendapat tentang faktor
nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu
pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari cacat
(‘aib).[21]
Fuqaha berbeda pendapat :
1.
Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik,
dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab.
2.
Menurut Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad
berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki.
3.
Menurut Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya
berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki
Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula.
Perbedaan
pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka
tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi Saw.:
Wanita
itu dikawini karena agamanya, kecantikannya, hartanya, dan keturunannya. Maka
carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu.” (HR.
Bukhari dari Abu Hurairah).[22]
Segolongan
fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama salah yang dijadikan pertimbangan.
Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi Saw. di atas (…maka carilah
wanita yang taat beragama).[23]
Segolongan
lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama kedudukannya dengan
faktor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari
lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa
kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah.[24]
Dan
semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat,
mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah.
Dikalangan
mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada
pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya
perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.[25]
Faktor
kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan mazhab Maliki bahwa ia
termasuk dalam lingkup pengertian kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits
shahih yang memberikan hak khiar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang
telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau tidak meneruskan
perkawinannya dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya).
Sabda
Nabi Saw.:
Manusia
itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas
orang ‘Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa. (HR. Abu Dawud).
Melihat
arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya, hanya takwalah yang
membedakan manusia satu dengan yang lainnya, bukan seperti kebangsawanan dan
kebangsaan ataupun kecantikan.[26]
Dalam
masalah perkawinan yang termasuk sunnah Nabi dan membina keluarga sejahtera itu
faktor agama yang seharusnya menjadi titik beratnya, untuk mendapatkan derajat
berbahagia dalam berumah tangga.[27]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Yang
dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum
Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga
masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau,
laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding
dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan
dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian, terutama dalam hal agama,
yaitu akhlak dan ibadah.
Kafa’ah
dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan
suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau
goncangan rumah tangga.
Kafa’ah
dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan
sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya.
Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan
problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya
perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.
DAFTAR
PUSTAKA
1. Rahman Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat,
(Jakarta: Kencana, 2010).
2. Tihami, H.M.A.
dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers,
2010).
3. Ahmad Saebani, Beni, Fiqh Munakahat (Buku
II), (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
4. Sulaiman Rasjid, Haji, Fiqh Islam,
(Jakarta: Attahiriyah, 1954).
5. Bagir Al-Habsyi, Muhammad, Fiqih Praktis:
Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama, (Penerbit Mizan),
Khazanah ilmu-ilmu Islam.
6. Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga,
(Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2001).
7. Ali Hasan, M., Pedoman Hidup Berumah Tangga
Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006).
[1] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fiqh
Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010). Ed. 1, cet. 4, hlm. 96.
[2] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
Ed. 1, cet. 2, hlm. 56.
[3] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Fiqh Munakahat
(Buku II), (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 6., hlm. 200.
[5] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut
Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama, (Penerbit Mizan), Khazanah
ilmu-ilmu Islam, cet. 2., hlm. 48.
[6] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam
Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), ed. 1, cet. 2, hlm. 33.
[20] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 58.
[22] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 58-59.
[24] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 59.
[26] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari
Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 60.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar