Kamis, 15 Januari 2015

KAFA'AH / KEDUDUKAN DALAM PERNIKAHAN

MAKALAH FIQH II
(KAFA’AH / KEDUDUKAN DALAM PERNIKAHAN)
BIMBINGAN KONSELING ISLAM (BKI)
Dosen: Arif Fikri, SHI, M.Ag
DISUSUN OLEH      :           RATNA TAKARINA / 1341040011
KELOMPOK                         :           4
KELAS                       :           B
SEMESTER                :           2
JURUSAN BIMBINGAN KONSELING DAN ISLAM
FAKULTAS DAKWAH IAIN RADEN INTAN
BANDAR LAMPUNG
2013/2014


KATA PENGANTAR

           Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini yang berjudul “KAFA’AH / KEDUDUKAN DALAM PERNIKAHAN” dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan, petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan.
Harapan penulis semoga makalah ini membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga penulis dapat memperbaiki bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini penulis akui masih banyak kekurangan karena pengalaman yang penulis miliki sangat kurang. Oleh kerena itu penulis harapkan kepada para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk kesempurnaan makalah ini.


Bandar Lampung, 7 Maret 2014

Penulis,


DAFTAR ISI

Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................             i
KATA PENGANTAR................................................................................             ii
DAFTAR ISI................................................................................................             iii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................             1
A.    Latar Belakang Masalah.....................................................................             1
B.     Rumusan Masalah..............................................................................             1
C.     Tujuan Masalah..................................................................................             2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................             3
A.    Pengertian Kafa’ah.............................................................................             3
B.     Ukuran Kafa’ah..................................................................................             7
BAB III PENUTUP.....................................................................................             10
A.    Kesimpulan.........................................................................................             10
DAFTAR PUSTAKA


BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Banyak hal yang dapat menjadi dasar terjadinya pernikahan. Cinta, sayang, ingin, mampu, adalah beberapa hal yang kerap menjadi alasan utama dua insan melangsungkan pernikahan.
Pernikahan merupakan sebuah kebutuhan manusia yang harus dipenuhi, karena hal itu merupakan kebutuhan biologis dan psikologis yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia. Kasarnya, pernikahan merupakan jalan dari hasrat biologis yang dimiliki manusia.
Namun, terlepas dari berbagai alasan tersebut, Islam menganjurkan beberapa syarat yang hendaknya dapat dipenuhi sebelum seseorang menjalani sebuah pernikahan. Bukan syarat adanya wali dan perangkat pernikahan lainnya, akan tetapi syarat kafa’ah atau kecocokan dan kesesuaian antara kedua insan yang berkasih dan juga keluarga.
Mengapa demikian, pada awalnya kedua insan ini adalah individu yang berbeda, kemudian ingin disatukan dengan tata cara yang benar menurut syariat Islam. Kalimat ‘individu yang berbeda’ inilah yang kemudian menjadi disyaratkan adanya kafa’ah dalam sebuah pernikahan. Agar kelak terdapat kesesuaian, keseimbangan dan kesinambungan antara dua insan yang akan mengarungi kehidupan berdua.

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Apa pengertian dari Kafa’ah ?
2.      Bagaimana ukuran Kafa’ah dalam Islam ?
3.      Apa saja  kriteria Kafa’ah menurut ulama fiqh ?
4.       Bagaimana perkawinan yang tidak Sekufu’ ?

C.    Tujuan Masalah
Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk :
1.      Untuk mengetahui pengertian Kafa’ah.
2.      Untuk mengetahui ukuran Kafa’ah dalam Islam.
3.      Untuk mengetahui kriteria Kafa’ah menurut ulama fiqh.
4.      Untuk mengetahui perkawinan yang tidak Sekufu’.


BAB II
PEMBAHASAN
Kafa’ah Dalam Perkawinan

1.      Pengertian Kafa’ah
Kafa’ah atau kufu’, menurut bahasa, artinya “setaraf, seimbang, keserasian/kesesuaian, serupa, sederajat, sebanding,[1] sama, serasi,[2] sepadan,[3] setingkat,[4] kesetaraan,[5] sesuai.[6]” Yang dimaksud dengan sepadan adalah keadaan dua pasangan suami-istri yang memiliki kesamaan dalam beberapa hal, yaitu:
1.      Keduanya beragama Islam;
2.      Memiliki rupa yang tampan dan cantik;
3.      Keduanya dari keturunan yang baik;
4.      Keduanya orang kaya;
5.      Keduanya berpendidikan; dan sebagainya.

Dalam ajaran Islam, kesepadanan yang harus dikejar oleh kedua calon suami-istri adalah kesepadanan dalam agama. Karena agama merupakan penentu stabilitas rumah tangga. Percuma saja, tampan dan cantik jika kehidupannya kurang bermoral, kaya raya jika kehidupannya penuh dengan pemborosan dan dikuasai hawa nafsu. Semua itu akan sirna.
Karena kesepadanan diutamakan agamnya, orang Islam diharamkan menikah dengan orang musyrik dan ahli kitab yang juga telah musyrik, apalagi jika seorang muslim menikah secara tidak normal, misalnya menjadi homoseksual atau lesbian. Semua itu merupakan perbuatan yang menyimpang dari prinsip kesepadanan. Oleh karena itu, prinsip kesepadanan dilaksanakan untuk dijadikan patokan dalam membentuk rumah tangga yang sakinah, mawaddah, warahmah.[7]
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah.[8]
Sebab, kalau kafa’ah diartikan persamaan dalam hal harta atau kebangsawanan, maka akan berarti terbentuknya kasta, sedangkan manusia di sisi Allah Swt. Adalah sama. Hanya ketakwaannyalah yang membedakannya.[9] Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt.:

49:13

Artinya: Hai manusia, Sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al-Hujurat [49]: 13).[10]
Oleh sebagian orang, kufu’ ini dianggap sebagai salah satu syarat sahnya akad nikah.[11]
Setingkat dalam perkawinan, antara laki-laki dengan perempuan ada lima sifat, yaitu menurut tingkat dua ibu bapa.
1.      Agama.
2.      Merdeka atau hamba.
3.      Keturunan.
4.      Pekerjaan.[12]
5.      Perusahaan.
6.      Kekayaan.
7.      Kesejahteraan.[13]

Menurut ulama penganut Hanbali berpendapat bahwa kafa’ah itu dalam hal-hal selain, yaitu: penyakit kusta, penyakit sopak, gila dan impoten.
Berkenaan dengan kufu’ (keseimbangan) ini, terdapat banyak pendapat. Berikut ini beberapa pendapat menyangkut masalah kufu’ :
Diriwayatkan dari Imam Ahmad dalam sebuah riwayat bahwa kafa’ah (kufu’) merupakan syarat sahnya nikah. Dalam pendapat yang kedua, Imam Ahmad mengemukakan, bahwa kafa’ah itu meskipun diperlukan, tetapi ia bukan sebagai syarat sahnya nikah. Pernikahan akan tetap sah tanpa adanya kafa’ah. Yang benar, kafa’ah itu tidak disyaratkan. Riwayat yang menyebutkan masalah itu menunjukkan bahwa secara global, kafa’ah itu diperlukan, tetapi tidak dianggap sebagai syarat.
Yang demikian itu, karena pengantin wanita dan para walinya mempunyai hak. Bagi siapa yang tidak menyetujui, maka boleh membatalkan. Oleh karena itu, ketika ada seseorang yang akan menikahkan puterinya dengan anak laki-laki saudaranya dengan tujuan agar laki-laki mengangkat dirinya dari kehinaan melalui anak perempuannya, maka Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam memberikan pilihan kepada puterinya itu, hingga akhirnya ia mengizinkan apa yang dilakukan ayahnya tersebut.[14]
Kufu’ ini tidak menjadi syarat bagi perkawinan, tetapi jika tidak dengan keredhaan masing-masing, boleh yang lain membatalkan pernikahan itu dengan beralasan tidak kufu’ (setingkat). Kufu’ (persamaan tingkat) itu hak perempuan dan walinya, keduanya boleh melanggarnya dengan keredhaan bersama.
Pendapat yang lebih kuat ditinjau dari alasannya, kufu’ itu hanya berlaku mengenai keagamaan, baik mengenai pokok agama, seperti Islam dan bukan Islam, maupun kesempurnaannya, seperti orang yang baik (ta’at), ia tidak sekufu’ dengan orang yang jahat dan orang yang tidak ta’at.[15]

24:3


Artinya: “Laki-laki pezina tidak kawin melainkan dengan perempuan pezina atau perempuan musyrik dan perempuan pezina tidak menikah melainkan dengan laki-laki pezina atau laki-laki musyrik dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang mu’min”. (QS. An-Nur [24]: 3).[16]
            Sabda Rasulullah S.a.w. :
“Tidak ada kelebihan orang Arab atas orang yang bukan Arab dan sebaliknya dan tidak pada orang putih atas orang hitam dan sebaliknya, tetapi kelebihan yang satu dari yang lain hanyalah dengan taqwa.” Riwayat Asshabus-sunan.[17]
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga.
Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.[18]

2.      Ukuran Kafa’ah
Masalah kafa’ah yang perlu diperhatikan dan menjadi ukuran adalah sikap hidup yang lurus dan sopan, bukan karena keturunan, pekerjaan, kekayaan dan sebagainya. Seorang laki-laki yang shaleh walaupun dari keturunan rendah berhak menikah dengan perempuan yang bersederajat tinggi. Laki-laki yang memiliki kebesaran apapun berhak menikah dengan perempuan yang memiliki derajat dan kemasyhuran yang tinggi. Begitu pula laki-laki yang fakir sekalipun, ia berhak dan boleh menikah dengan perempuan yang kaya raya, asalkan laki-laki itu muslim dan dapat menjauhkan diri dari meminta-minta serta tidak seorang pun dari pihak walinya menghalangi atau menuntut pembatalan.
Selain itu, ada kerelaan dari walinya yang mengadakan dari pihak perempuannya. Akan tetapi, jika laki-lakinya bukan dari golongan yang berbudi luhur dan jujur berarti dia tidak kufu’ dengan perempuan yang salehah. Bagi perempuan salehah jika dikawinkan oleh bapaknya dengan lelaki fasik, kalau perempuannya masih gadis dan dipaksa oleh orang tuanya, maka ia boleh menuntut pembatalan.[19]
Ibnu Rusyd berkata: Dikalangan mazhab Maliki tidak diperselisihkan lagi bahwa apabila seorang gadis dikawinkan oleh ayahnya dengan seorang peminum khamr (pemabuk), atau singkatnya dengan orang fasik, maka gadis tersebut berhak menolak perkawinan tersebut. Begitu pula halnya apabila seorang gadis dikawinkan dengan pemilik harta haram atau dengan orang yang banyak bersumpah dengan kata-kata talak. Kemudian hakim memeriksa perkaranya dan menceraikan antara keduanya. [20]
Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa para fuqaha juga berbeda pendapat tentang faktor nasab (keturunan), apakah termasuk dalam pengertian kafa’ah atau tidak. Begitu pula tentang faktor hurriyah (kemerdekaan), kekayaan dan keselamatan dari cacat (‘aib).[21] Fuqaha berbeda pendapat :
1.      Menurut pendapat yang masyhur dari Imam Malik, dibolehkan kawin dengan hamba sahaya Arab.
2.      Menurut Sufyan Al-Tsauri dan Imam Ahmad berpendapat bahwa wanita Arab tidak boleh kawin dengan hamba sahaya lelaki.
3.      Menurut Imam Abu Hanifah dan para pengikutnya berpendapat bahwa wanita Quraisy tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Quraisy, dan wanita Arab tidak boleh kawin kecuali dengan lelaki Arab pula.

Perbedaan pendapat ini kata Ibnu Rusyd disebabkan oleh adanya perbedaan pendapat mereka tentang mafhum (pengertian) dari sabda Nabi Saw.:
Wanita itu dikawini karena agamanya, kecantikannya, hartanya, dan keturunannya. Maka carilah wanita yang taat beragama, niscaya akan beruntung tangan kananmu.” (HR. Bukhari dari Abu Hurairah).[22]
Segolongan fuqaha ada yang memahami bahwa faktor agama salah yang dijadikan pertimbangan. Demikian itu karena didasarkan kepada sabda Nabi Saw. di atas (…maka carilah wanita yang taat beragama).[23]
Segolongan lainnya berpendapat bahwa faktor keturunan (nasab) sama kedudukannya dengan faktor agama, demikian pula faktor kekayaan, dan tidak ada yang keluar dari lingkup kafa’ah, kecuali apa yang dikeluarkan oleh ijma’, yaitu bahwa kecantikan tidak termasuk dalam lingkup kafa’ah.[24]
Dan semua fuqaha yang berpendapat adanya penolakan nikah karena adanya cacat, mereka akan menganggap keselamatan dari cacat termasuk dalam lingkup kafa’ah.
Dikalangan mazhab Maliki juga tidak diperselisihkan lagi bahwa faktor kemiskinan (pada pihak lelaki) termasuk salah satu perkara yang menyebabkan dibatalkannya perkawinan yang dilakukan oleh seorang ayah bagi anak gadisnya.[25]
Faktor kemerdekaan juga tidak diperselisihkan lagi di kalangan mazhab Maliki bahwa ia termasuk dalam lingkup pengertian kafa’ah. Hal ini didasarkan adanya hadits shahih yang memberikan hak khiar (memilih) kepada hamba sahaya perempuan yang telah dimerdekakan (yakni hak memilih untuk meneruskan atau tidak meneruskan perkawinannya dengan suaminya yang masih berstatus hamba sahaya).
Sabda Nabi Saw.:
Manusia itu sama seperti gigi sisir yang satu, tidak ada kelebihan bagi orang Arab atas orang ‘Ajam (bukan Arab), kecuali dengan takwa. (HR. Abu Dawud).
Melihat arti umum ayat dan hadits di atas, manusia sama derajatnya, hanya takwalah yang membedakan manusia satu dengan yang lainnya, bukan seperti kebangsawanan dan kebangsaan ataupun kecantikan.[26]
Dalam masalah perkawinan yang termasuk sunnah Nabi dan membina keluarga sejahtera itu faktor agama yang seharusnya menjadi titik beratnya, untuk mendapatkan derajat berbahagia dalam berumah tangga.[27]


BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
Yang dimaksud dengan kafa’ah atau kufu’ dalam perkawinan, menurut istilah hukum Islam, yaitu “keseimbangan dan keserasian antara calon istri dan suami sehingga masing-masing calon tidak merasa berat untuk melangsungkan perkawinan”. Atau, laki-laki sebanding dengan calon istrinya, sama dalam kedudukan, sebanding dalam tingkat sosial dan sederajat dalam akhlak serta kekayaan. Jadi, tekanan dalam hal kafa’ah adalah keseimbangan dan keserasian, terutama dalam hal agama, yaitu akhlak dan ibadah.
Kafa’ah dalam perkawinan merupakan faktor yang dapat mendorong terciptanya kebahagiaan suami istri, dan lebih menjamin keselamatan perempuan dari kegagalan atau goncangan rumah tangga.
Kafa’ah dianjurkan oleh Islam dalam memilih calon suami/istri, tetapi tidak menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Kafa’ah adalah hak bagi wanita atau walinya. Karena suatu perkawinan yang tidak seimbang, serasi/sesuai akan menimbulkan problema berkelanjutan, dan besar kemungkinan menyebabkan terjadinya perceraian, oleh karena itu, boleh dibatalkan.


DAFTAR PUSTAKA

1.      Rahman Ghozali, Abdul, Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010).
2.      Tihami, H.M.A.  dan Sohari Sahrani, Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010).
3.      Ahmad Saebani, Beni, Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: Pustaka Setia, 2001).
4.      Sulaiman Rasjid, Haji, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954).
5.      Bagir Al-Habsyi, Muhammad, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama, (Penerbit Mizan), Khazanah ilmu-ilmu Islam.
6.      Hasan Ayyub, Syaikh, Fikih Keluarga, (Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2001).
7.      Ali Hasan, M., Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006).



[1] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fiqh Munakahat, (Jakarta: Kencana, 2010). Ed. 1, cet. 4, hlm. 96.
[2] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, (Jakarta: Rajawali Pers, 2010). Ed. 1, cet. 2, hlm. 56.
[3] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Fiqh Munakahat (Buku II), (Bandung: Pustaka Setia, 2001), cet. 6., hlm. 200.
[4] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, (Jakarta: Attahiriyah, 1954), cet. 17., hlm. 370.
[5] Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis: Menurut Al-Qur’an, As-Sunnah, dan Pendapat para Ulama, (Penerbit Mizan), Khazanah ilmu-ilmu Islam, cet. 2., hlm. 48.
[6] M. Ali Hasan, Pedoman Hidup Berumah Tangga Dalam Islam, (Jakarta: Siraja, 2006), ed. 1, cet. 2, hlm. 33.
[7] Drs. Beni Ahmad Saebani, M.Si., Fiqh Munakahat (Buku II), Op.Cit., hlm. 200.
[8] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Op.Cit., hlm. 96-97.
[9] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Op.Cit., hlm. 56.
[10] Lihat Al-Qur’an Surat Al-Hujurat/49: 13.
[11] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, (Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 2001), cet. 1, hlm. 33.
[12] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Op.Cit., hlm. 35.
[13] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Op.Cit., hlm. 370.
[14] Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga, Op.Cit., hlm. 33-35.
[15] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Op.Cit., hlm. 370.
[16] Lihat Al-Qur’an Surat An-Nur/24: 3.
[17] H. Sulaiman Rasjid, Fiqh Islam, Op.Cit., hlm. 371.
[18] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, M.A., Fiqh Munakahat, Op.Cit., hlm. 97.
[19] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 97-98.
[20] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 58.
[21] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 98-99.
[22] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 58-59.
[23] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 100.
[24] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 59.
[25] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 100.
[26] Prof. Dr H.M.A. Tihami, M.A., M.M. dan Drs. Sohari Sahrani, M.M., M.H., Fikih Munakahat, Op.Cit., hlm. 60.
[27] Prof. Dr. Abdul Rahman Ghozali, Op.Cit., hlm. 102.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar